Donasi : Bank BCA -- No. Rek, 8305-11-8393 --- A/N : ARINI

TELADAN BODHISATTA AVALOKITESVARA


TELADAN BODHISATTA AVALOKITESVARA
BY. Bhikkhu Uttamo Mahathera

Hal yang pertama yang harus kita ubah dari prilaku kita hendaknya mengembangkan sifat sifat seperti yang di ajarkan oleh Sang Buddha yang  pernah ditulis di dalam kitab Anguttara Nikaya.

Anguttara Nikaya ini adalah bagian dari Tipitaka. Tipitaka itu terdiri dari banyak buku karena Sang Buddha mengajar selama 45 tahun. Tipitaka  mempunyai tiga bagian, bagian yang pertama adalah berisikan peraturan peraturan menjadi seorang Bhikku atau seorang Bhikkuni, yang kedua adalah berisikan khotbah khotbah Sang Buddha tentang kehidupan sehari-hari, dan  yang ketiga berisikan filosofi filsafat yang tinggi.

Anguttara Nikaya ini adalah bagian dari khotbah Sang Buddha, disitu disebutkan apa saja yang harus kita  lakukan sebagai seorang umat Buddha untuk mengembangkan batin supaya menjadi orang yang lebih baik.

Hal yang pertama adalah disebut kerelaan, tetapi bukan kerelaan yang untuk orang lain. Saudara-saudara, kadang kadang kita bisa berpikir bahwa kerelaan itu biasanya cocok untuk orang lain.

Satu contoh begini, misalnya kita pergi ke mall atau ke supermarket kemudian kita kehilangan dompet, dompet mungkin ketinggalan di mall  atau di supermarket tersebut atau di  kamar kecilnya atau diserobot orang dan sebagainya.

Nah, kalau ada yang mengeluh kepada kita, “Aduh, dompetku hilang, dompetku kemana nih?”

Kita dengan gampang menyarankan kepada dia, “Ya sudahlah relakan saja, uang masih bisa dicari, dompet masih bisa di beli, KTP masih bisa diurus, credit card masih bisa diblokir, yang penting kamu masih bisa selamat”.

Gampang kita ngomong begitu. Tapi waktu kita kehilangan dompet itu sendiri, dompet kita ketinggalan sendiri, dompet kita kehilangan, uangnya juga, apakah kalau orang  menyarankan, “Ya sudahlah kamu relakan saja, kan dulu kamu pernah menasehati aku begitu”.

Apa jawaban kita? “Ya, karena dompetmu jelek, uangnya sedikit, ini dompetku bagus, uangnya banyak, tidak semudah itu aku merelakan“. Iya kan?

Lalu ada juga teman kita, keluarga kita yang mungkin ditinggal pasangan hidupnya, kita dengan gampangnya menasehati dia, “Sudahlah relakan dia, kebetulan pasangan hidupmu sudah berangkat, kamu sekarang kan bebas, dulu kamu selalu bersama suami, kemana pergi kamu selalu diawasi,  kemana pergi kamui di deteksi di teleponi terus, sekarang kalau dia sudah meninggal kamu sudah tenang, nyaman, tidak terganggu”.

Kita dengan gampang menasehati orang lain seperti itu, tapi ketika hal itu terjadi pada diri kita, kita ditinggal orang yang kita sayangi bukan hanya pasangan hidup, mungkin orang tua kita sendiri misalnya, wah, kalau ada yang menasehati, “Sudahlah tenang, relakan saja, kankamu dulu pernah menasehati aku begitu”. Apa jawab kita? “Ya, itu kan karena pasangan hidupmu lebih jelek, kamu dapatnya gampang dan memang sudah sakit sakitan, dan sudah tua. Apa yang aku miliki masih bagus nyarinya susah”.

Nah, Saudara saudara inilah kerelaan yang cocok untuk orang lain, tidak cocok untuk dirinya sendiri. Padahal kalau kita melihat salah satu syair pemujaan terhadap Bodhisatta Avalokitesvara yang  membentuk memiliki seribu tangan dan seribu mata,  syairnya mengatakan, “Sang Bodhisatta mengatakan dirinya, seribu tangan yang aku miliki, seribu pula yang aku berikan untuk membantu, menolong segala kesulitan yang dihadapi semua makhluk”. Seribu tangannya, seribu pula yang diberikan untuk menolong, ini adalah kerelaan.

Kalau sekarang yang dipuja, yang di hormati merelakan seribu tangannya, seribu pula yang diberikan. Anda punya dua tangan, berapa yang mau Anda berikan? Anda punya tangan dua tidak dipotongkan untuk diberikan, bantu orang. Sudahkah anda membantu orang?

Misalnya para pengurus tadi sudah membantu mengatur- ngatur kursinya, sudah bantu bantu mengatur ngatur segalanya, Anda yang bukan pengurus mungkin Anda dirumah,  sudahkah Anda bisa bantu bantu orang lain? Anda berpikir, apakah yang bisa saya kerjakan untuk orang lain, aku punya dua tangan, apakah yang bisa aku kerjakan dengan dua tanganku demi kebahagianmu?

Aku punya dua kaki, apakah yang bisa aku kerjakan demi  kebahagianmu? Dan aku punya mulut, bisakah aku manfaatkan demi kebahagianmu? Itulah sebetulnya pola pikir kerelaan, apa yang kita miliki, ini kita relakan untuk kebahagiaan orang lain.

Kalau Anda bisa berpikir seperti ini, sebetulnya Anda sudah punya watak Bodhisatta. Bodhisatta juga disebut  Mahasattva, makhluk yang luhur, makhluk yang besar karena tekadnya, karena kemauannya, karena kerelaannya untuk membantu orang lain,  bahkan bukan hanya orang lain, makhluk lain juga dibantu. Inilah yang disebut dengan kerelaan, lalu bagaimana cara melatih kerelaan? Apa  saya harus  memotong tangan saya, apa saya harus memberikan mata saya, atau saya harus memberikan yang  lain?

Tidak. Paling gampang  menjalankan kerelaan ini dengan hal hal yang paling tidak Anda sukai. Anda mungkin mempunyai mangga, tidak usah mangga yang tidak enak itu. Anda simpan sampai busuk, anda boleh bagikan sama yang lainnya.

Pernah tidak, Anda bagikan makanan yang tidak enak pada orang lain, atau tetap Anda simpan? Ini walaupun  gak enak, ini tetap makananku, sayang kalau dibagikan pada orang lain, simpan. Lah, kalo yang gak enak saja gak Anda berikan, apalagi yang enak? Dalam banyak pengalaman dulu, di Vihara  kan sering banyak buah, buah kan kadang kadang ada yang manis, ada yang gak manis, pas dapat jeruk yang asem, ada umat Buddha itu yang senyum senyum, “wuih…, jeruknya enak ya”, matanya itu tidak ditampilkan seperti makan jeruk asem, padahal kalau kita makan jeruk asem matanya jadi lebih sempit dari ukuran normal, tapi ini matanya malah dimelekkan, “Uhh, enaknya, ini jeruknya mau ya.., mau.., saya bagikan semua, bawa pulang, bawa pulang semua, aku sudah cukup satu saja”. Ternyata jeruknya ini gak enak, tapi meyakinkan enak, manis, karena manis ini untuk kamu saja, kenapa? Barang yang jelek, kasihkan dulu.

Anda juga tidak  hanya punya makanan yang tidak enak, Anda juga punya baju yang jelek. Apa yang harus Anda katakan, “Wah, itu biasanya baju yang jelek itu disumbang sumbangkan, hamper setiap bulan Vihara Samaggi Jaya itu menerima sumbangan baju satu dus, tapi jelek jelek.

Pernah saya ikut periksa, itu stocking bolong saja dikirim, saya berpikir ini kebangetan, emangnya dikira Vihara ini tempatnya buang sampah, betul betul stocking bolong. Belum lagi kaos yang sudah bodol-bodol, untuk lap saja bisa melecetkan meja, seperti itu dikasihkan Vihara. Tapi itu ada beberapa kejadian seperti itu. Ya, paling tidak, Saudara memberikan barang yang tidak baik sekalipun itu sudah termasuk karma baik walaupun kecil.

Anda kadang kadang mempunyai uang seribuan yang jelek, lima ratusan yang jelek, ratusan yang jelek. Wah, itu paling pengen Anda memberikannya pada orang lain. Ini adalah kerelaan yang pertama, barang yang tidak bagus, barang yang tidak cocok untuk Anda sekarang Anda kasihkan, apakah ada buahnya? Ada. Apakah ini karma baik? Karma baik, Cuma karma baik yang nilainya sangat kecil.

Karma baik yang kedua, kerelaan yang  kedua  adalah Anda beli tapi yang murah, lumayan lho beli tapi murah, ayo ini kita mau mengunjungi orang sakit, ayo bawa buah-buahan, kita gak milihkan buah yang kecut, nggak! Tapi belikan yang murah aja ya. Kalau ini biasanya dirumah kita makan buah yang luar negeri, apel yang luar negeri, apel yang Australi, ini yang sakit dikasihkan apel yang Malang saja. Tapi saya beli, tapi yang murah saja.

Ya, ini kita mau ke yayasan sosial, ayo kita kumpulkan, apa misalnya,  makanan kering, kita beli, tapi yang murah sehingga kita efisien, dengan uang yang sedikit dapatnya banyak, nanti kalau ada teman yang ulang tahun juga dibelikan barang barang yang murah tapi ini sudah beli, nilainya lebih tinggi, karma baiknya juga lebih tinggi, buah kebajikannya juga lebih tinggi dibandingkan dengan barang yang kita gak cocok.

Nah, yang ketiga Saudara, bukan barang yang gak enak, bukan barang yang gak baik, bukan barang yang kita beli dengan asal-asalan, tetapi kita memberikan, mengusahakan yang terbaik, misalnya jeruk luar negeri, ada orang sakit, kita kasih yang  sama dengan kita, nah, ini bagus. Ke panti asuhan, ke yayasan social, pakaian kita, kita kasih  pakaian kita yang  masih bagus. Ini adalah punya karma baik yang lebih tinggi, punya buah yang lebih tinggi dan punya kerelaan yang lebih baik.

Tetapi apakah kerelaan yang tinggi?
Memberikan barang rusak?
Memberikan barang yang murah?
Memberikan barang yang mahal?
Apa sekarang yang  paling tinggi?

Memberikan egonya sendiri, memberikan egonya sendiri adalah dana kerelaan yang paling besar.

Kenapa demikian?

Karena kita mau memperhatikan orang, kita mau memaafkan orang, kita mau membantu orang. Ini adalah karma baik yang tinggi. Oleh karena itu Saudara Saudara, dimanapun Anda tinggal, pada malam hari ini kita bersama sama merayakan Bodhisatta Avalokitesvara mencapai penerangan sempurna, atau kesempurnaan.

Cobalah, Anda mampu tidak untuk  mengembangkan kerelaan, mampu tidak Anda punya rasa perhatian, cinta kasih, menolong? Kalau Anda mampu, maka Anda bisa unsur yang pertama, kerelaan.

Unsur yang kedua Saudara, yang disebutkan didalam Anguttara Nikaya, yang diajarkan oleh Sang Buddha, apakah yang bisa kita kembangkan? “Menjadi orang yang melepaskan keduniawian. Kalau Anda  melihat, ini mesti jadi Bhikkhu atau Bhikkhuni, ya kan? Sehingga kadang kadang orang pergi ke Vihara dilarang.

“Lho, jangan sering sering ke Vihara!”
“Lho kenapa?”
“Nanti kamu jadi Bhikku, kalau laki, kalau perempuan nanti kamu jadi Bhikkhuni”

Dianggapnya begitu, malah dalam masyarakat sampai saat ini masih dikenal, dirumah jangan banyak sembahyang, dirumah jangan punya sembahyangan, karena nanti gak bisa kerja, nanti kalau kamu sembahyang terus nanti kamu jadi Bhikkhu atau Bhikkhuni.

Saudara – saudara, pola ini salah, pola yang salah, seorang  umat Buddha tidak harus selalu menjadi seorang Bhikkhu atau Bhikkhuni, sejak zaman Sang Buddha pun, lebih banyak umatnya daripada Bhikkhu atau Bhikkhuninya, itu Sang Buddha sendiri lho yang mengajar. Makanya sampai sekarang pun tidak demikian.

Tetapi Bhikkhu dan Bhikkhuni ini sebetulnya adalah symbol, lambang pelepasan keduniawian itu sendiri. Rambut dilepas, dicukur, ini sebetulnya adalah lambang pelepasan, karena nanti lambat atau  cepat rambut itu hampir sama dengan rambut saya ini, ya kan? Lah , rontok semua. Anda kalau sisiran rada keras begini lho.  Kadang kadang, lho rambutku kok rontok? Saya gak pernah stress begitu kok, malah kalau panjang saya stress. Nah, kenapa demikian Saudara- saudara? Siapa yang sudah suami istri disini?, coba tunjuk jari. Oh, cukup banyak. Baik para Bapak dan Ibu yang sudah suami istri ini merupakan pertanyaan khusus buat Anda, sebagai suami istri Anda pernah tidak bertanya, mau mati yang mana duluan? Kalau seandainya anda mati, kamu dulu atau Anda dulu? Apa coba dijawabnya? Yang suami istri, kamu dulu atau aku dulu?

“Saya dulu.”
Haaaa… ada satu jawaban, yang lain?
“Sama”
Haaaa.. normal.. normal…, kenapa demikian?

Semua suami istri, saya tanya, seandainya ada lomba mati, siapa yang pengen mati duluan?
Saya dulu,
Lho…, kenapa gak nyuruh pasanganmu mati dulu?
Waduhh, ditinggal itu susah Bhante. Apalagi ditinggal anaknya masih kecil, aduh… pusing, kalau aku mati dulu kan happy, utangnya aku kan urusan dia, anak kecil urusan dia, normal Saudara.

Tetapi Saudara, sama dengan  tadi kerelaan yang pertama, Anda hanya cocok utnuk kerelaan untuk orang lain. Itu tingkat kerelaan yang pertama, orang  kehilangan dompet, ya itu normal, Saudara. Tetapi Saudara, sama dengan tadi kerelaan yang pertama, Anda hanya cocok untuk kerelaan untuk orang lain. Itu tingkat kerelaan yang pertama, orang kehilangan dompet, ya, itu normal. Anda kehilangan sendiri, Anda stress. Orang kehilangan pasangan hidup Anda bilang normal, Anda kehilangan sendiri Anda stress.

Demikian pula yang kedua, pelepasan keduniawian yang kedua ini, Anda mengatakan Anda pengen mati duluan, okay, tetapi  kalau Anda ditinggal mati oleh rambut Anda, rambut mati, rontok,,, Anda stress. Anda ditinggal mati oleh pakaian Anda, ketika pakaian Anda menjadi rusak, Anda stress. Lho…, pakaian baru kok bolong? Tetapi kenapa Anda tidak mau mematikan diri Anda sendiri?

Tadi kan punya harapan, Anda suami istri, nanti kalau mati yang mana dulu, aku dulu, kehidupan kita ini seperti suami istri, barang barang yang menempel di tubuh kita ini seperti suami istri. Kalau Anda mau mati duluan dengan memotong rambut Anda, sebetulnya Anda mengurangi stress, Anda kan pengen mati duluan,… ya kan?

Yang suami istri tadi. Dibahagian ini, kenapa Anda gak bisa mati duluan? Aku gak melekat  dengan rambutku, aku gak  melekat dengan pakaianku, pada saat Anda bisa berpikir begitu sebetulnya Anda sudah meninggalkan keduniawian.  Jadi meninggalkan keduniawian itu bukan harus potong rambut lalu tinggal di vihara, pake jubah, belum tentu. Ketika Anda di dalam masyarakat dan Anda bisa melepas kemelakatan Anda, sebetulnya Anda sudah meninggalkan keduniawian. Ini berhubungan dengan yang pertama kali tadi, kerelaan, yang kedua ini sangat ditekankan pada kemelekatan kita, apa yang dasarnya kerelaan tadi, kita harus bias melepaskan kemelekatan kita.

Anda boleh punya rumah, tapi ketika rumah Anda rusak, Anda jangan ngomel ngomel. Lho rumahku kok rusak, rusak  adalah bagian dari proses, seperti  dengan kita berkumpul dengan orang yang kita cintai kemudian meninggal, sakit dan sebagainya. Rumah juga bisa rusak, kita mulai bisa melepas. Oh, kalau sudah rusak apa yang harus kita lakukan, ya, kita harus perbaiki, jangan  stress karena rumahnya rusak, mobilnya bias rusak, segala sesuatu yang kita miliki bias rusak. Tubuh kita bias rusak, dulunya kuat tenaganya, sekarang menurun, dulu telinganya masih baik, sekarang menurun, dulu  pandangannya baik, sekarang matanya mulai gak kelihatan lagi, dulu nafasnya  panjang, sekarang naik tangga aja sudah ngos- ngosan, itu sebenarnya kita mulai  melepas… melepas… melepas… , mampu gak saya menghadapi kenyataan ini? Apakah ketika rambut saya putih saya stress dan saya langsung  mencari semir rambut?

“Rambut Anda ada yang disemir disini?”
“Rahasia dong!!”

Tetapi kalau Anda terus begitu itu terjadi kemelekatan. Saya sendiri sebetulnya pengen menunggu rambut saya  putihnya cepat, gak putih putih, ya ada sedikit, karena  saya berpikir, kalau rambutnya putih, ini lebih kelihatan  bijaksana, jadi waktu memberikan nasehat itu lebih mantap orang yang mendengar, rambutnya kalau terlalu hitam begini, halah…, kamu masih muda lah, gak usah nasehatin. Ini kalau udah putih, seperti Bapak yang didepan ini, saya sebenarnya senang, tampak bijaksana.  Nanti suatu ketika, pasti saya pikir tampak saya, cet cet putih saja ya…, tetapi kadang kita takut melepas  keduniawian itu. Padahal itu kenyataan hidup, gigi kita lepas satu demi satu, kadang kita takut menghadapi kenyataan ini.

Saudara saudara, pelepasan keduniawian bukan harus kita tinggal di Vihara, bukan harus tidak bekerja, bukan harus tidak punya rumah, bukan harus tidak punya harta, bukan harus tidak berumah tangga. Kita boleh punya rumah, boleh bekerja, boleh kaya raya, boleh berumah tangga, tetapi harus siap menghadapi perpisahan dengan apa saja yang kita miliki. Keluarga, kita siap menghadapi kenyataan, kalau dia berpisah dengan kita, apakah anak kita pergi kelaur negeri, kita harus siap! Apakah pasangan hidup kita meninggal dunia, kita harus siap! Apakah usaha kita menurun, kita harus siap! Apakah rumah kita harus dijual, kita harus siap! Karena inilah sebetulnya pelepasan keduniawian, walaupun Anda pake jugah, dipotong rambut dan Anda tinggal di Vihara, ketika Anda melekat dengan jubah Anda, itupun belum melepaskan keduniawian.

Ada satu cerita di zaman Sang Buddha, suatu ketika seorang Bhikkhu mendapatkan dana jubah,  kemudian dia berpikir jubahnya besok mau saya pakai, tepapi malam harinya dia meninggal dunia. Karena dia melekati jubah ini, dia lahir jadi kutunya jubah. Jadi dia meski  sudah meninggalkan keduniawian, pikirannya masih melekat dengan jubahnya, sekarang kita semuanya ini, sebenarnya  yang paling penting adalah membebaskan pikiran kita dari kemelekatan.

Bagaimana kita bisa melepaskan pikiran kita dari kemelekatan, tadi kita sudah ajarkan, yaitu dengan kerelaan, kerelaan yang sedikit, yang tidak Anda sukai, mulai Anda membelikan  yang murah, mulai memberikan yang mahal, tetapi kerelaan itu sendiri adalah, diri Anda sendiri itulah yang membuat Anda menjadi melepaskan keduniawian. Makanya tingkat yang pertama, dengan yang kedua ini sangat erat hubungannya, nah, tetapi jika betul betul Anda bisa mencukur rambut Anda gundul, Anda kemudian bisa menggunakan jubah juga, Anda juga bisa tinggal di Vihara juga, ya, ini bagus juga, ya , tetapi jangan karena putus harapan, putus cinta.

 Dulu saya pernah ditanya orang, “Bhante jadi Bhikkhu apa karena putus cinta?” saya jawab, kalau saya  jadi Bhikkhu karena putus cinta, malah jadi gak karuan karuan loh.

“Loh, kenapa Bhante?”
Iya, karena saya jadi  Bhikkhu ini saya diminta menasehati orang orang yang berumah tangga, orang yang pacaran, kalau ada orang yang mengatakan “Aduh, pasangan hidupku kok rewel aja”. Karena  putus cinta, langsung saja sayamengatakan  “Pegat, cerai!” karena saya sendiri juga jengkel dengan lawan jenis, karena aku dulu kok diputus ya. Kalau ada orang yang hubungan rumah tangga jelek, cerai saja, pacaran..pacaran… banyak gangguan lalu bagaimana, jadi Bhikkhu semua. Jadi Bhikkhu semua, lho??? Ini gara gara jadi Bhikkhu karena putus cinta malah jadi  gak karuan nasehatnya. Jadi Bhikkhu  bukan karena putus cinta, bukan juga karena gak punya pekerjaan, haaaah sudahlah, kerja disini gak bisa, kerja disana gak bisa,  males ini males itu, jadi Bhikkhu aja. Jadi dikiranya Vihara ini tempat penampunya orang males males.

Lah, sehingga nanti kalau bos datang, kamu punya pekerjaan gak? Kalau punya, bolehlah aku kerja tempatmu, lho itu juga ada bisa kejadian seperti itu. Nah, oleh karena itu, bukan karena kita gak punya pekerjaan, juga bukan karena putus cinta, kita menjadi Bhikkhu adalah karena pengabdian. Oleh karena itu Saudara saudara, kalau Anda mau menjadi  Bhikkhu, menjadi Bhikkhuni, baik sekali, tetapi ingat dasarnya adalah  pelepasan keduniawian,s ehingga Anda pun bekerja, bersama tetap bisa melepaskan keduniawian, artinya mengurangi kemelekatan.

Sekarang yang ketiga didalam Anguttara Nikaya disebutkan, kita bukan hanya mengembangkan kerelaan, kita bukan hanya coba melepaskan keduniawian tetapi yang ketiga, merawat ayah dan ibu, gampang sekali. Anda punya ayah dan ibu kan? Semua orang di dunia ini punya. Karena itu, inilah sasaran yang paling tepat, dalam salah satu cerita Saudara, tentang Avalokitesvara Bodhisatta itu kan ada satu cerita, seorang anak raja yang berada di Tiongkok, yang ketika raja itu mengalami sakit yang gatal, gatal- gatal diseluruh tubuhnya, obatnya hanya mata dan tangan yang diberikan secara kerelaan, maka anak  perempuan ini yang dipercaya jadi Bodhisatta Avalokitesvara ini, memberikan tangan dan matanya untuk obat ayahnya yang sakit. Ini adalah bentuk  perawatan kepada orang tua,  pernah dengar kan cerita itu? Ini nanti yang dipercaya menjadi Avalokitesvara, kalau dia demikian luar biasa merawat orang tuanya sampai rela memberikan mata dan tangannya, apalah sekarang umatnya, bagaimana sikap kita sebagai umatnya?

Sama kalau kita  memuja atau memasang fotonya Michael Jackson untuk  meniru prilakunya, kalau sekarang kita memuja rupang atau patungnya Avalokitesvara sebetulnya adalah untuk kita meniru prilakunya. Nah, Anda semua punya orang tua, baik pun yang masih hidup maupun yang sudah tidak hidup lagi. Bagi yang orangtuanya masih hidup, ini adalah  kesempatan yang baik untuk Anda membalas jasa.

Dikatakan di dalam Dhamma, kalau pun Anda menggendong orang tua Anda seratus tahun lamanya, tidak pernah diturunkan selama seratus tahun, kemanapun Anda pergi, Anda pergi ke pasar, orang tua Anda tetap digendong, Anda pergi ke mall, orang tua Anda tetap digendong, Anda nonton film, orang tua Anda tetap digendong, Anda mandi, ke kamar kecil, tidur, orang tua Anda tetap di gendong. Seratus tahun Anda melakukan itu, Anda belum bisa membalas jasanya orang tua, atau mungkin Anda kaya raya, Anda menyediakan dua gudang yang isinya emas, berlian itupun belum bisa membalas jasa orang tua.

Kenapa demikian besar jasa orang tua kepada kita? Karena apa yang Anda bawa ini sekarang  warisan orang tua. Hidung Anda bukan beli di pasar dupak di situ, ini pemberian orang tua, rambut Anda pemberian orang tua, mata Anda, telinga Anda, jeroan Anda itu pemberian orang tua dan itu menjadi modal Anda. Sekarang Anda sudah menggunakan modal yang  Anda miliki ini. Anda mandikan tiap hari, itu kan Cuma membersihkan modalnya orang tua, kita makan tiap hari, itu kan hanya menjaga pertumbuhan modal yang diberikan orang tua. Yang sudah begitu hebatnya Anda diberikan orang tua, apa balas jasa Anda kepada orang tua? Ada orang yang mengatakan, lha orang tua memberikan segalanya inikan sudah kewajiban dia. Okay, memang kewajiban orang tua, membesarkan kita,  menyekolahkan kita, mendidik kita, tapi, apa kewajiban kita sebaliknya kepada orang tua?

Kalau seseorang memelihara anjing, anjing dikasih makan terus, itupun nanti bisa membalas jasa pada tuannya, masa kita manusia yang disekolahkan, yang  dididik, yang bisa berpikir, apa kita gak bisa balas jasa kepada orang tua kita? Oleh karena itu, di dalam Dhamma, kita harus bsia membalas jasa ketika orang tua masih hidup. Nah, apakah yang bisa kita kerjakan? Merawat dia, ketika dia sakit, dirawat.

Jangan kalau sudah orang tua sakit, panggilkan Bhante-nya.  Bhante tolong doain dong orang tua saya, biar cepat jalannya. Memangnya kita ini algojo? Saya katakan, kalau mau cepat pake baygon, gak pake doa lagi. Kenapa demikian? Karena anak sumpek.  Kasihan dong Bhante, orang tua saya itu sudah masuk ICU dua minggu, yang kasihan bukan orang tuanya, yang kasihan kamu sendiri, karena kamu merasa capek ngurusi orang tuamu  dua minggu di ICU, duitnya juga capek, tenaganya juga capek. Padahal sebetulnya itu kewajiban kita, cobalah orang tua,  kalau anaknya seorang bayi masuk ke ICU, tidak pernah ada orang tua mendoain biar bayinya cepat jalannya. Tapi, kalau anak minta orang tua cepat jalannya, buanyak itu saya temui dalam masyarakat.

Ya, ini kenapa? Ini karena mentalitas anak yang tidak benar, kalau kita bisa ada kerelaan dan  melepaskan keduniawian, maka kita  akan bisa merawat orang tua, lalu juga bisa membantu orang tua. Ketika orang tua punya kesulitan, cobalah kita bantu. Kalau tadi didalam Avalokitesvara bahwa seribu tanganmu seribu pula yang akan aku berikan, maka mampu tidak kita membantu orang tua.

Lalu menjaga nama baik orang tua, Anda ini semua punya beban menjaga nama baik orang tua. Kalau Anda baik kan, dikatakan, “Anaknya siapa ini ya? Kok baik sekali?”. Oh, anaknya si A. tapi kalau Anda jelek, Anda juga ditanya, “Anaknya siapa ini? Jelek sekali, nakalnya kayak gini gak bisa diatur, maunya sendiri.” Orang tua juga kena. Oleh karena itu, menjaga perilaku Anda ini pun termasuk adalah membantu orang tua kita, kemudian juga menghargai apa yang telah diberikan orang tua kepada  kita, apakah itu harta kita, apakah itu kepandaian kita, apakah itu segalanya yang kita miliki, marilah kita jaga.

Nah, itu kalau orang tua masih hidup, kalau orang tua sudah meninggal, apa yang bisa kita lakukan? Kita berbuat baik atas nama almarhum, kita melakukan pelimpahan jasa, kalau tadi Anda misalnya menyiapkan bunga disini, membawa buah disana, lakukanlah itu atas nama orang tua Anda, semoga dengan melakukan kebajikan yang ini, Almarhum memperoleh kebahagiaan, nah, ini adalah cara merawat oran tua kita. Agama Buddha bukan hanya merawat orang tua ketika masih hidup, tetapi setelah meninggal pun harus kita ingat, selalu kita rawat dengan mengucapkan semoga dengan kebaikan yang aku lakukan membuahkan kebahagiaan untuk Almarhum. Anda bisa cetak buku atas nama Almarhum, Anda bisa memberikan kaset kaset khotbah khotbah Dhamma atas nama Almarhum, ini semua adalah pelimpahan jasa.

Oleh karena itu, Saudara saudara, tiga hal inilah yang perlu Anda miliki di dalam kehidupan Anda. Yang pertama adalah kerelaan, yang kedua adalah melepaskan keduniawian dan yang ketiga adalah merawat ayah dan ibu kita, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Inilah yang disampaikan Sang Buddha didalam Anguttara Nikaya yang tentunya bisa diteladani seseorang pada hari dimana kita menyambut pencapaian kesempurnaan Bodhisatta Avalokitesvara. Sambutlah pencapaian kesempurnaan ini bukan hanya  sebagai bentuk satu upacara, tetapi jadikanlah sebagai saat untuk meningkatkan kualitas diri kita, sehingga apa yang dilakukan para Bodhisatta itu bisa menjadi satu pedoman hidup kita untuk dipakai di  dalam kehidupan sehari hari.

Inilah yang perlu saya sampaikan pada malam hari ini, mudah mudahan apa yang saya sampaikan ini bisa membantu kita untuk saling bertanya jawab. Semoga memberikan manfaat untuk Anda. Semoga Anda semua berbahagia. Semoga semua makhluk, baik yang tampak atau pun tak tampak memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya masing masing.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta

Nah, ini Cuma sedikit kisah dari beberapa kisah dari buku “Mentalis Buddhis
menarik bukan? 
Buku ini yang di terbitkan oleh “Bodhi Buddhist Center Indonesia”
Bagi yang ingin mencetak buku ini untuk sebagai pelimpahan jasa kepada sanak saudara yang sudah meninggal, silahkan hubungi atau langsung ke:
Jalan Gaharu No. 18/71 Medan
Tel. 061-7755-7799
Hp. 0877-6840-6869

Terima kasih

Comments
0 Comments
>

Arini