Donasi : Bank BCA -- No. Rek, 8305-11-8393 --- A/N : ARINI

KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA


KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA

Oleh Bhikkhu Uttamo


Umat Buddha kadang dianggap masyarakat luas sebagai orang yang tidak bertuhan. Agama Buddha sering pula dikatakan sebagai agama yang tidak bertuhan. Bahkan, pada suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. 


Menanggapi pernyataan yang bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di Indonesia yang bertuhan?” Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah ‘tuhan’ sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata ‘tuhan’ terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa ‘tuhan’ berarti penguasa atau tuan. Dan, karena di Indonesia tidak ada agama yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing, barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci mereka.

 Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan’ karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan’. Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.

Sebagai contoh sederhana tentang hal ini adalah penggunaan istilah ‘telunjuk’ untuk salah satu jari tangan manusia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata ‘telunjuk’ pasti dengan mudah dapat diketemukan karena memang kata tersebut berasal dari Bahasa Indonesia. Namun, dalam kamus
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk’. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.



Sayangnya, pemahaman seperti ini tidak berlaku untuk konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Ketika Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah ‘tuhan’ dalam berbagai upacara ritual, maka secara sembarangan, masyarakat telah ‘menuduh’ bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Padahal, dalam Agama Buddha yang menggunakan kitab suci berbahasa Pali, konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana atau lebih dikenal secara luas sebagai Nirvana (Bahasa Sanskerta). Jadi, seseorang tidak akan pernah menemukan istilah ‘tuhan’ dalam Tipitaka, melainkan istilah ‘nibbana’Nibbana inilah yang sering dibabarkan oleh Sang Buddha di berbagai kesempatan kepada bermacam-macam lapisan masyarakat. Nibbana ini pula yang menjadi tujuan akhir seorang umat Buddha, sama dengan berbagai konsep ketuhanan dalam agama lain yang juga menjadi tujuan akhir mereka masing-masing. Seperti telah diketahui bersama bahwa Ajaran Sang Buddha mengenal adanya tiga tujuan hidup umat Buddha yaitu pertama, mendapatkan kebahagiaan di dunia. Kedua, kebahagiaan karena terlahir di alam surga atau alam bahagia setelah meninggal dunia. Ketiga, kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana atau Nirvana yang dapat dicapai ketika seseorang masih hidup di dunia ataupun setelah ia meninggal nanti.

Kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan duniawi yang dapat diwujudkan di dunia ini setelah seseorang mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma. Apabila setelah mengenal Dhamma, seseorang semakin susah hidupnya, maka berarti Dhamma yang lebih dikenal sebagai Agama Buddha itu belum memberikan manfaat baginya. Kebahagiaan tahap pertama ini diukur dengan adanya rasa cukup, paling tidak, untuk empat kebutuhan pokok paling mendasar yaitu pakaian, makanan, tempat tinggal serta sarana kesehatan. Pengertian ‘cukup’ yang dimaksudkan di sini tentu saja sangat relatif sifatnya. Cukup bagi seseorang mungkin saja kekurangan bagi orang lain. Oleh karena itu, dalam Dhamma, istilah ‘cukup’ ini diukur paling bawah atau secara minimal dari rasa cukup yang dimiliki oleh para bhikkhu. Dengan demikian, seorang umat yang mempunyai lebih daripada yang dimiliki bhikkhu, maka sesungguhnya ia sudah dapat disebut sebagai cukup. Kalaupun umat tersebut masih merasa tidak cukup, mungkin saja hal ini berhubungan dengan kebutuhan yang berbeda atau bahkan ketamakan yang dimiliki.

Para bhikkhu dalam menjalani hidup sebagai pertapa masih membutuhkan empat kebutuhan pokok yaitu jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Keperluan jubah seorang bhikkhu hanya satu set saja. Dengan demikian, jika seorang bhikkhu mampu hidup menggunakan satu set jubah selama bertahun-tahun, maka seorang umat yang memiliki lebih dari satu set pakaian, misalnya tujuh set untuk tujuh hari dalam seminggu, maka ia bisa dianggap telah cukup. Namun, apabila ia telah memiliki banyak sekali pakaian dan masih juga merasa belum cukup, maka hal ini lebih disebabkan oleh ketamakan yang dimilikinya.

Demikian pula dengan kebutuhan makanan. Kehidupan seorang bhikkhu ditopang dengan makanan yang diperoleh dari persembahan umat. Pada umumnya, seorang bhikkhu hanya makan sekali atau dua kali sebelum tengah hari. Oleh karena itu, jika seorang umat sudah mampu menyediakan diri dan keluarganya makanan lebih dari dua kali sehari, sesungguhnya ia sudah dapat dikatakan cukup. Namun, apabila ia masih merasa belum cukup ketika makanan yang ia miliki telah berlebihan, maka perasaan ini timbul sebagai akibat dari ketamakan yang ia miliki selama ini.

Kebutuhan tempat tinggal seorang bhikkhu dapat tercukupi dengan tinggal di dalam goa ataupun gubuk sederhana. Oleh karena itu, apabila seorang umat telah mampu memiliki satu unit rumah walaupun sederhana, sebenarnya ia telah dapat disebut cukup. Berlebihan dalam penyediaan rumah bisa dikatakan sebagai tanda ketamakan.

Akhirnya, kecukupan sarana kesehatan menjadi sumber kebahagiaan duniawi yang keempat setelah pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Untuk menjaga kesehatan maupun mengobati penyakit, seorang bhikkhu sesuai dengan peraturan kebhikkhuan diperkenankan mempergunakan urine sendiri. Tradisi ini sebenarnya dimasa sekarang lebih dikenal dengan istilah ‘terapi urine’. Jadi, apabila seorang umat telah mampu membeli obat, walaupun generik, ia sesungguhnya sudah dapat disebut cukup. Namun, apabila ia berlebihan dalam pengadaan sarana kesehatan sehingga cenderung boros, maka ia termasuk telah dipengaruhi oleh nafsu ketamakan.

Terkait dengan tujuan hidup umat Buddha yang pertama yaitu hidup bahagia di dunia dengan kecukupan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan, maka banyak sekali catatan uraian Dhamma Sang Buddha tentang mencari nafkah, mempertahankan dan meningkatkan kekayaan maupun upaya membina hidup rumah tangga bahagia dan harmonis. Dengan melaksanakan uraian Dhamma yang telah disampaikan oleh Sang Buddha dan dicatat dalam Kitab Suci Tipitaka, maka para umat Buddha diharapkan mempunyai pedoman hidup yang jelas serta pasti untuk bekerja dan berumah tangga. Dengan demikian, ia akan mendapatkan kecukupan materi, bahkan berlimpah dengan materi namun rumah tangga serta kondisi batin tetap bahagia.

Selanjutnya, tujuan hidup umat Buddha yang kedua setelah merasa cukup bahagia hidup di dunia adalah mengarahkan kehidupannya agar setelah meninggal dunia ia terlahir di alam surga. Tujuan terlahir di alam surga ini menjadi tujuan kedua agar memberikan kesempatan para umat Buddha membuktikan terlebih dahulu manfaat Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan ini. Apabila memang benar ia telah memetik manfaat Buddha Dhamma dengan mendapatkan kebahagiaan duniawi, tentu akan tumbuh keyakinan yang kuat dalam dirinya kepada Ajaran Sang Buddha. Ia akan lebih bersemangat melaksanakan Dhamma agar ia terlahir di alam bahagia sebagai tujuan hidup yang berikutnya. Pembuktian mencapai kebahagiaan di dunia ini menjadi sangat penting karena pembuktian kelahiran di surga jauh lebih sulit dilakukan semasa seseorang masih hidup di dunia. Kelahiran di alam surga sering menjadi pengetahuan umum maupun kepercayaan membuta yang diperoleh dari berbagai kitab suci yang ada dalam masyarakat. Disini Buddha Dhamma berusaha memberikan bukti, bukan hanya sekedar janji.

Tidak adanya manfaat memiliki kepercayaan membuta tanpa bukti atas kelahiran di surga ini dapat diperjelas dengan perumpamaan cinta seorang pria terhadap gadis pujaannya. Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang gadis yang cantik jelita. Kecantikannya telah terkenal di mana-mana. Setiap hari, banyak pemuda datang mengharapkannya sebagai istri. Mereka datang dengan membawa berbagai buah tangan sebagai penarik hati si gadis itu. Akhirnya, dari sekian banyak pria yang melamar, gadis tersebut memilih salah satu diantaranya. Ketika si pria yang diterima lamarannya ini bertanya, kapan mereka akan menikah. Si gadis menjawab, “Nanti setelah kita mati”. Sebuah jawaban yang aneh dan tidak ada gunanya. Ketika mereka mati, kapan mereka memiliki kesempatan untuk hidup dan berbahagia bersama? Tidak masuk akal memang. Sayangnya, jawaban semacam ini dianggap tidak aneh dan tetap layak dipercaya ketika seseorang mendapatkan janji tanpa bukti bahwa seseorang akan terlahir di surga setelah ia meninggal dunia. Justru karena untuk membuktikan terlebih dahulu, Buddha Dhamma memberikan kesempatan kepada mereka yang mau mempelajari dan melaksanakan Dhamma mendapatkan kebahagiaan duniawi sebelum mereka membicarakan kebahagiaan surgawi.

Adapun kebahagiaan surgawi yang dicapai setelah mendapatkan kebahagiaan duniawi dapat diperoleh para umat Buddha dengan mengkondisikan timbulnya kebahagiaan duniawi kepada mereka yang membutuhkan. Umat Buddha hendaknya sering melakukan kebajikan dengan membagikan kelebihan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan yang telah ia miliki dan ia telah merasa cukup dengan hal itu. Disinilah peran rasa cukup yang mampu mengatasi ketamakan menjadi sangat penting. Dari tindakan ini pula dapat dibedakan pengaruh cukup atau tamak terhadap diri seseorang. Mereka yang dipengaruhi oleh ketamakan tidak akan pernah merasa cukup dan tidak ingin berbagi kepada mereka yang membutuhkannya. Sedangkan mereka yang merasa cukup tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk berbagi dan terus berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Dengan sering berbagi, maka umat pun terlatih untuk memperbanyak kebajikan melalui badan, ucapan serta pikiran. Banyaknya kebajikan yang telah dilakukan inilah yang akan menjadi jalan lebar serta lurus untuk seseorang terlahir di alam surga setelah kematiannya.

Akhirnya, karena seseorang telah mampu membuktikan pencapaian kebahagiaan duniawi dengan melaksanakan Dhamma, ia pun telah merasakan kebahagiaan karena mampu berbagi, maka tahap ketiga sebagai tujuan hidupnya adalah berusaha mencapai Nibbana atau Nirvana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam kehidupan ini juga maupun kehidupan yang selanjutnya.

Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan mendengar doa umatNya” serta masih banyak lainnya. Pendekatan kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak menjelma”, “Yang tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat, Tuhan atau Nibbanaadalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.

Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila rasa, bentuk maupun warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu diceritakan, maka tentunya kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Nibbana. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu dijalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Jalan Mulia inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau pertama kali mengajarkan Dhamma di dunia. Karena seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau Nibbana, maka dalam Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko (Bhs. Pali).

Jalan Mulia Berunsur Delapan yang telah disebutkan di atas adalah merupakan salah satu unsur dari Ajaran Pokok Sang Buddha yang dikenal dengan Empat Kesunyataan Mulia. Seperti nama yang dipergunakan, Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari empat kondisi yang pasti dialami oleh semua mahluk hidup. Kesunyataan pertama menyebutkan kenyataan bahwa hidup berisikan ketidakpuasaan. Ketidakpuasan ini disebabkan karena keinginan untuk selalu bertemu dan berkumpul dengan mereka yang dicintai dan keinginan untuk tidak berjumpa dengan mereka yang tidak disukai. Kesunyataan kedua menganalisa bahwa ketidakpuasan tersebut disebabkan oleh keinginan. Semakin kuat keinginan, semakin kuat pula ketidakpuasan yang dialami. Sebaliknya, semakin lemah keinginan, semakin lemah pula ketidakpuasan yang timbul dalam batin seseorang. Kesunyataan ketiga memberikan penalaran bahwa terkendalinya keinginan akan menyebabkan hilangnya ketidakpuasan sehingga seseorang mencapai Nibbana. Dan, kesunyataan keempat memberikan cara atau satu jalan yang memiliki delapan unsur untuk mengendalikan keinginan serta melenyapkan ketidakpuasan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka masing-masing kesunyataan mulia ini akan sepintas dibahas secara umum.

Kesunyataan Mulia yang pertama menyebutkan bahwa hidup berisikan ketidakpuasan. Ketidakpuasan ini muncul karena dalam kehidupan selalu terkondisi untuk berpisah dengan segala hal yang dicinta dan bertemu dengan segala hal yang tidak disuka. Maksud dari segala hal yang dicinta dan tidak disuka ini dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, pengertian tersebut dapat meliputi orang, benda, suasana dsb. Misalnya, seseorang pada mulanya bisa saja duduk bersila di lantai dengan nyaman, namun pada saat berikutnya ia mungkin merasakan kesemutan yang menyakitkan. Perasaan ini timbul karena ia telah berpisah dengan kondisi yang dicinta yaitu nyaman duduk bersila di lantai dan bertemu dengan kondisi yang tidak dicinta yaitu rasa sakit akibat kesemutan. Demikian pula dengan rasa tidak nyaman akibat lapar. Kondisi ini timbul akibat berpisah dengan yang dicinta yaitu rasa tidak lapar dan bertemu dengan kondisi yang tidak disuka yaitu rasa lapar. Jadi, kondisi bertemu dengan yang tidak disuka dan berpisah dengan yang disuka ini selalu muncul berbarengan bagaikan dua sisi tangan yang terlihat berbeda apabila dipandang dari dua arah. Namun, kedua perbedaan sudut pandang ini tetap saja melihat satu bagian yang sama yaitu telapak tangan.

Sang Buddha mengerti dengan jelas bahwa sumber ketidakpuasan yang dialami ini adalah dari keinginan yang tidak tercapai untuk selalu bertemu dengan yang dicinta dan tidak bertemu dengan yang tidak disuka. Oleh karena itu, Kesunyataan Mulia yang kedua menyebutkan bahwa keinginan adalah sumber ketidakpuasan. Semakin kuat keinginan seeorang untuk mempertahankan kondisi yang dicintai, maka semakin besar pula rasa ketidakpuasan yang ia alami. Demikian pula, semakin kuat penolakan terhadap pertemuan dengan kondisi yang tidak menyenangkan akan memperberat rasa ketidakpuasan yang timbul dalam batinnya. Dalam contoh di atas, semakin seseorang gelisah atas rasa kesemutan yang ia alami, maka semakin memuncak rasa ketidakpuasannya terhadap kondisi tubuhnya yang terbatas tersebut. Semakin seseorang menolak rasa lapar yang memang sudah timbul, semakin parah pula rasa lapar menyerangnya.
Oleh karena itu, pembabaran Sang Buddha selanjutnya adalah Kesunyataan Mulia yang ketiga bahwa ketidakpuasan dapat diatasi apabila keinginan dapat dikendalikan. Pengendalian keinginan ini dicapai dengan pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berkesinambungan. Tidak ada kekekalan di alam semesta ini. Hanya ketidakkekalan itulah yang kekal. Dengan demikian, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ketika seseorang bertemu dengan kondisi nyaman duduk bersila di lantai, maka seiring dengan berjalannya waktu, ia pun pasti akan bertemu dengan kondisi tidak nyaman duduk di lantai yaitu kesemutan. Demikian pula ketika ia merasa nyaman ‘bertemu’ dengan rasa tidak lapar, maka suatu saat sesuai dengan berjalannya waktu, ia pasti akan ‘bertemu’ dengan rasa lapar. Segala bentuk keinginan yang menimbulkan ketidakpuasan tersebut akan dapat diatasi apabila seseorang mampu memahami ketidakkekalan ini.

Akhirnya, sebagai Kesunyataan Mulia yang Keempat, diuraikan Sang Buddha tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menjadi kunci pelaksanaan seseorang untuk dapat mengendalikan keinginannya. Pelaksanaan Jalan Mulia inilah yang seharusnya dikerjakan dengan tekun dan penuh semangat oleh para umat serta simpatisan Buddhis agar hidupnya mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang bisa diperoleh, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, adalah kebahagiaan duniawi, kemudian, kebahagiaan setelah meninggal dunia dengan terlahir di salah satu alam surga atau bahkan tentu saja kebahagiaan tertinggi yaitu terbebas dari kelahiran kembali yakni ketika seseorang mencapai Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha.

Dasar pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan diawali dengan latihan kemoralan. Paling tidak, sebagai awal, terdapat lima latihan kemoralan yang dapat dilakukan yaitu upaya menghindari tindakan pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong dan mabuk-mabukan. Latihan mengendalikan diri terhadap lima perilaku tidak benar ini mengkondisikan seseorang untuk selalu menyadari segala tingkah laku badan dan ucapan yang sedang dikerjakan. Semakin sering seseorang mampu mengembangkan kesadaran atas tindakan serta ucapannya, maka ia pun semakin terkondisi untuk memperhatikan serta menyadari segala bentuk gerak gerik pikiran yang menjadi sumber tindakan badan maupun ucapan yang dilakukannya. Perhatian pada gerak gerik pikiran inilah yang akan mengkondisikan seseorang menyadari bahwa kenyataan hidup adalah saat ini. Secara bertahap dengan mempunyai kesadaran ini, seseorang akan semakin berkurang kemelekatannya pada masa lampau maupun masa depan. Masa lampau hanyalah tinggal kenangan sebagai bagian dari upaya pembelajaran untuk diperbaiki maupun ditingkatkan di masa sekarang. Sedangkan masa depan masih berupa rencana maupun impian yang harus segera dilaksanakan sedikit demi sedikit di masa sekarang. Dengan demikian, masa sekarang menjadi masa yang sangat penting sekali untuk selalu meningkatkan kualitas diri secara lahir maupun batin. Pemahaman yang kuat bahwa kenyataan hidup adalah saat ini menjadikan seseorang secara perlahan-lahan akan berkurang kemelekatannya. Batinnya menjadi tenang seimbang menghadapi segala perubahan yang dijumpainya. Bahkan, pada akhirnya ia mampu membebaskan diri dari kemelekatan sehingga batinnya pun terbebas dari ketamakan, kebencian serta kegelapan. Kegelapan batin yang dimaksudkan di sini adalah ketidaktahuan seseorang bahwa kenyataan hidup adalah tidak kekal dan hanya merupakan proses berkesinambungan. Dengan demikian, ia tidak lagi melekat dengan proses yang terus menerus berubah ini. Pengertian inilah yang membawa seseorang terbebas dari kelahiran kembali atau mencapai Nibbana yang tidak bisa diceritakan karena kemutlakannya. Sama sekali tidak bersyarat. Hanya saja, walaupun tidak bisa diceritakan, ternyata Nibbana mampu dicapai oleh mereka yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Demikianlah Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha yang tidak bisa diceritakan namun bisa dicapai dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tentu saja akan timbul pertanyaan dalam diri para umat serta simpatisan Buddhis bahwa apabila Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha tidak memiliki konsep seperti pemahaman umum yang dikenal dalam masyarakat, lalu bagaimanakah umat Buddha seharusnya berdoa?

Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat Buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah ‘sembahyang’ yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu ‘sembah’ berarti menghormat dan ‘hyang’ yaitu dewa. Dengan demikian, ‘sembahyang’ berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila ‘sembahyang’ diartikan seperti itu, maka umat Buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat Buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat Buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat Buddha juga tidak ‘berdoa’ karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat Buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca Sang Buddha maupun kepada fihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat Buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca Sang Buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut ‘sembahyang’ maupun ‘doa’, umat Buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan ‘puja bakti’. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata ‘puja’ yang bermakna menghormat dan ‘bakti’ yang lebih diartikan sebagai melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam melakukan puja bakti, umat Buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman Sang Buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukannamakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang Sang Buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena Sang Buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.

Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.

Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat Buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah Sang Buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah Sang Buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian Dhamma Sang Buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal Dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah Sang Buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.

Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca Karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah Sang Buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.

Itulah makna sesungguhnya dari pengertian ‘puja bakti’ yaitu menghormat dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Sekali lagi, umat Buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat Buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dsb. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat Buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?

Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat Buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebaikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan. Upaya mengarahkan buah kebajikan ini secara tradisi biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Seperti halnya menulis surat tentu membutuhkan kalimat pembuka sebelum mengutarakan maksud atau isi yang sesungguhnya sebelum ditutup dengan kalimat penutup. Demikian pula kalau mendatangi rumah seseorang, maka biasanya diawali dengan pembicaraan yang santai, ramah dan penuh persaudaraan sebelum membahas masalah yang sesungguhnya. Setelah itu, barulah acara ramah tamah ditutup kembali dengan hal yang ringan sebelum berpamitan pulang. Demikian pula ketika umat Buddha menyampaikan keinginan ataupun harapannya dalam upacara ritual Buddhis. Pada mulanya dibuka dengan mengingat Ajaran Sang Buddha. Disebutkan ‘mengingat’ karena untuk membedakan dengan istilah ‘memuji’. Dalam ritual Buddhis, tidak dilakukan pujian kepada Sang Buddha karena tindakan tersebut tidak bermanfaat. Sang Buddha sudah tidak terlahirkan kembali. Dengan demikian, pujian tidak lagi memberikan pengaruh kepada Beliau. Oleh karena itu, ingatan pada kotbah atau Ajaran Sang Buddha dirumuskan sebagai, “Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan dituai. Menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan.” Perenungan atau ingatan ini berhubungan dengan Hukum Sebab dan Akibat atau lebih dikenal dengan Hukum Kamma. Setelah dibuka dengan perenungan, selanjutnya diungkapkan harapan atau keinginan yang dimiliki dengan menyebutkan, “Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk…… “ yang dapat diisi, misalnya : banyak rejeki, panjang umur, sehat kuat dan bersemangat, serta masih banyak lagi isian sesuai dengan keinginan yang dimiliki.

Dengan diawali perenungan pada hukum sebab dan akibat, maka seseorang akan lebih menyadari bahwa apabila ia menginginkan kebahagiaan, ia hendaknya melakukan kebajikan terlebih dahulu kepada fihak lain. Seperti halnya tanam padi akan panen padi, demikian pula apabila seseorang menanam kebajikan, ia pun akan memetik kebahagiaan. Jika ia menanam pelepasan mahluk dari penderitaan, maka ia pun akan terlepas dari berbagai kesulitan yang sedang dihadapi. Demikian seterusnya. Apabila telah cukup banyak kebajikan yang dilakukan, maka tentu kebahagiaan seperti yang diharap pun akan dapat terwujud. Kalaupun masih ada keinginan yang belum terwujud, ia akan selalu bersemangat untuk melakukan kebajikan karena ia telah menyadari bahwa semua kebajikan yang ia lakukan tidak akan pernah hilang begitu saja.

Apabila ungkapan permintaan itu telah dibuka dan didahului dengan perenungan pada Hukum Kamma atau Hukum Sebab dan Akibat, maka sebagai penutup umat Buddha dapat mengucapkan berkali-kali kalimat, “Semoga semua mahluk berbahagia’ yang artinya, ia sendiri adalah mahluk, semoga ia bahagia dengan tercapai segala harapannya. Keluarganya juga mahluk, semoga keluarganya bahagia sesuai dengan kondisi kamma mereka masing-masing. Bahkan, musuh-musuhnya pun adalah mahluk, semoga mereka semua berbahagia sesuai dengan keinginan yang mereka miliki. Dengan mengucapkan kalimat penutup seperti ini, maka umat Buddha diarahkan untuk mengingat kebahagiaan fihak lain selain diri sendiri. Kebahagiaan kepada fihak lain ini diwujudkan dengan memancarkan pikiran cinta kasih kepada semua mahluk, bahkan kepada para musuhnya. Sesungguhnya, dengan seseorang mampu mengharapkan semua mahluk berbahagia, maka dirinya sendiri pun akan mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan yang telah dimiliki selama ini.

Jadi, secara lengkap, rumusan ungkapan permintaan ataupun ‘doa’ dalam tradisi Buddhis ini terdiri tiga tahap seperti yang telah diuraikan di atas yaitu: “ Sesuai dengan benih yang ditabur demikian pula buah yang dituainya, menanam kebajikan maka akan memperoleh kebahagiaan. Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….. (diisi: panjang umur, sehat, sukses dsb.). Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan rumusan ‘doa’ seperti ini, umat Buddha akan selalu bersemangat untuk mengembangkan kebajikan melalui badan, ucapan dan juga pikiran karena ia sadar bahwa kebahagiaan akan dapat dirasakan melalui upaya kebajikan yang ia kerjakan. Ia tidak akan pernah menyalahkan fihak lain atas penderitaan yang ia alami. Sebaliknya, ia pun tidak akan menganggap ada fihak lain yang membuatnya bahagia. Suka duka adalah bagian dari buah perbuatan yang ia lakukan selama ini. Ia akan selalu bersemangat untuk melaksanakan lima latihan kemoralan yaitu berusaha tidak melakukan pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong maupun mabuk-mabukan. Ia juga akan tekun melaksanakan latihan pengembangan kesadaran atau meditasi. Dengan demikian, ia akan selalu sadar pada saat ia sedang bertindak, berbicara maupun berpikir. Kesadaran yang penuh akan hidup saat ini akan mengkondisikan seseorang mencapai kebebasan dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Pada tingkat inilah seseorang disebut mencapai Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha. Jadi, pencapaian Tuhan atau Nibbana ini tidak harus dialami ketika seseorang telah meninggal, namun juga bisa dalam kehidupan ini juga. Sekarang juga.

Sebagai kesimpulan, sudah jelas sekarang bahwa tujuan hidup seorang umat Buddha adalah untuk mencapai kebahagiaan. Dalam Dhamma disebutkan adanya tiga tujuan hidup yaitu berbahagia di dunia ini, berbahagia setelah kehidupan ini yaitu mencapai alam surga atau alam bahagia lainnya. Kemudian, sebagai tujuan hidup yang tertinggi adalah kebahagiaan Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa. Tentu saja, Nibbanabukan surga atau alam, namun terbebas dari kelahiran kembali yang dapat dicapai dalam kehidupan ini juga. Agar seseorang dapat mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu Nibbana, maka ia hendaknya selalu berusaha melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara terus menerus. Adapun Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan ini seseorang paling tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup ini. Dan, apabila timbul keinginan atau harapan, maka ia dapat mengucapkan tekad yang terdiri dari tiga bagian yaitu pembuka, isi serta penutup seperti yang telah diuraikan di atas.

Cara mengungkapkan harapan atau keinginan dalam tiga bagian tersebut dapat dipergunakan dimanapun seseorang berada tanpa menimbulkan pertentangan maupun permusuhan dengan fihak lain. Cara tersebut dapat dipergunakan di berbagai tempat ibadah Buddhis maupun bukan.
Inilah yang perlu disampaikan pada kesempatan ini. Semoga uraian Dhamma ini akan memberikan manfaat serta kebahagiaan untuk para umat dan simpatisan Buddhis.
Semoga Anda semua berbahagia.
Semoga semua mahluk selalu berbahagia.
Semoga demikianlah adanya.



http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/ketuhanan-dalam-agama-buddha/#more-3156http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/ketuhanan-dalam-agama-buddha/#more-3156

Comments
0 Comments
>

Arini