Beberapa tahun yang lalu, sebuah percobaan di bidang pendidikan diadakan secara rahasia di sebuah sekolah di Inggris. Sekolah itu memiliki dua kelas untuk setiap kelompok anak-anak yang berusia sepantar. Pada akhir tahun ajaran diadakan sebuah ujian dalam rangka memilih anak anak untuk kelas pada tahun berikutnya. Bagaimanapun, hasil ujian itu tak pernah diumumkan. Dalam kerahasiaan, hanya kepala sekolah dan para pakar psikologi saja yang mengetahui kenyataannya, anak-anak yang mendapat peringkat pertama ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat empat dan lima, delapan dan sembilan, dua belas dan tiga belas, dan selanjutnya.
Sementara anak anak yang mendapat peringkat dua dan tiga pada ujian tersebut ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang medapat peringkat enam dan tujuh, sepuluh dan sebelas, dan selanjutnya. Dengan kata lain, berdasarkan kinerja selama ujian, anak-anak dibagi rata menjadi dua kelas. Para guru pun diseleksi berdasarkan kesetaraan kemampuan.
Bahkan setiap ruang kelas pun diberikan fasilitas yang sama. Segala sesuatunya dibuat setara mungkin, kecuali untuk satu hal: satu disebut "kelas A" dan yang lain disebut "kelas B".
Pada kenyataannya, setiap kelas memiliki anak-anak yang setara kemampuannya. Tetapi di benak setiap orang, anak-anak dari kelas A dianggap sebagai anak-anak yang cerdas, sedangkan anak-anak dari kelas B dianggap tak begitu pandai. Beberapa orang tua dari anak-anak kelas A mendapat kejutan yang menyenangkan karena anak-anaknya lulus dengan baik dan menghadiahi mereka dengan bingkisan dan pujian.
Sementara beberapa orang tua dari anak-anak kelas B mengomeli dan menghukum anak-anaknya karena mereka dianggap tak berusaha cukup keras selama ujian. Bahkan para guru pun mengajar anak-anak kelas B denga sikap berbeda; dengan tidak berharap banyak dari mereka. Sepanjang tahun ajaran, ilusi tersebut terus dipertahankan. Lalu tibalah ujian akhir tahun berikutnya.
Hasilnya membuat merinding, tetapi tidak mengejutkan. Anak-anak kelas A menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada anak-anak kelas B. Pada kenyataannya hasilnya juga akan seperti itu jika dulunya mereka terpilih sebagai setengah dari yang teratas pada ujian tahun lalu. Mereka benarbenar menjadi anak-anak kelas A (nomor 1). Dan kelompok lain, walaupun setara dengan tahun lalu, mereka menjadi anak-anak kelas B (nomor 2) sungguhan. Seperti apa mereka diajar sepanjang tahun, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka.
Sementara anak anak yang mendapat peringkat dua dan tiga pada ujian tersebut ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang medapat peringkat enam dan tujuh, sepuluh dan sebelas, dan selanjutnya. Dengan kata lain, berdasarkan kinerja selama ujian, anak-anak dibagi rata menjadi dua kelas. Para guru pun diseleksi berdasarkan kesetaraan kemampuan.
Bahkan setiap ruang kelas pun diberikan fasilitas yang sama. Segala sesuatunya dibuat setara mungkin, kecuali untuk satu hal: satu disebut "kelas A" dan yang lain disebut "kelas B".
Pada kenyataannya, setiap kelas memiliki anak-anak yang setara kemampuannya. Tetapi di benak setiap orang, anak-anak dari kelas A dianggap sebagai anak-anak yang cerdas, sedangkan anak-anak dari kelas B dianggap tak begitu pandai. Beberapa orang tua dari anak-anak kelas A mendapat kejutan yang menyenangkan karena anak-anaknya lulus dengan baik dan menghadiahi mereka dengan bingkisan dan pujian.
Sementara beberapa orang tua dari anak-anak kelas B mengomeli dan menghukum anak-anaknya karena mereka dianggap tak berusaha cukup keras selama ujian. Bahkan para guru pun mengajar anak-anak kelas B denga sikap berbeda; dengan tidak berharap banyak dari mereka. Sepanjang tahun ajaran, ilusi tersebut terus dipertahankan. Lalu tibalah ujian akhir tahun berikutnya.
Hasilnya membuat merinding, tetapi tidak mengejutkan. Anak-anak kelas A menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada anak-anak kelas B. Pada kenyataannya hasilnya juga akan seperti itu jika dulunya mereka terpilih sebagai setengah dari yang teratas pada ujian tahun lalu. Mereka benarbenar menjadi anak-anak kelas A (nomor 1). Dan kelompok lain, walaupun setara dengan tahun lalu, mereka menjadi anak-anak kelas B (nomor 2) sungguhan. Seperti apa mereka diajar sepanjang tahun, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka.
Sumber :
