MENGATASI LAPAR MENTAL
By. Bhikkhu Uttamo Mahathera
Namo tassa bhagavato
arahato sammasambuddhassa.
Namo tassa bhagavato
arahato sammasambuddhassa.
Namo tassa bhagavato
arahato sammasambuddhassa.
Melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari hari akan
memberikan kebahagiaan. Saudara saudara yang berbahagia, acara pada malam hari
ini tentu merupakan acara yang sangat baik. Selama satu bulan penuh Anda
mengikuti kegiatan sebulan Penghayatan Dhamma dan saya yakin umat disini sama
pada tahun tahun yang lalu, yaitu sejak hari pertama sampai dengan hari ketiga
puluh dua nanti Anda selalu rajin, tetap rajin, tetap bersemangat.
Di beberapa tempat, sebulan dalam Dhamma isinya empat kali di
hari minggu, ya apa bedanya sama hari hari biasa, kalau sebulan Dhammanya hanya
di hari Minggu, ada juga di beberapa
tempat yang seminggu diawal sudah, ada juga seminggu di tengah, boleh juga
atau, seminggu di akhir, tapi ini tiga puluh dua hari.
Mudah mudahan setelah sebulan penghayatan Dhamma atau tiga
puluh dua hari penghayatan Dhamma, tekanan darah tetap sama, kolestrol tetap,
karena tiap malam berpesta terus, kolestrolnya nanti naik. Banyak Atthasilla,
berbahagialah sang penyelenggara acara.
Kalau semua berpuasa ini lebih bagus lagi. Dalam tiga puluh dua hari,
langsung langsing karena Cuma tiga puluh dua hari, coba kalau sepuluh tahun
tiap hari puasa malah gemuk. Karena tubuh sudah menyesuaikan metabolismenya.
Nah, Saudara saudara, penghayatan Dhamma ini sangat di
perlukan sekali, karena bahkan bukan hanya di kota kota besar, di kota kota
kecil, di desa desa penghayatan Dhamma ini pun mulai di giatkan.
Apa yang sesungguhnya yang kita tekankan, apa yang
sesungguhnya yang kita pelajari di dalam penghayatan Dhamma semacam ini?
Sesungguhnya penghayatan Dhamma ini untuk mengingatkan kepada kita bahwa ajaran
Sang Buddha bukan hanya dipakai ketika kita di Vihara saja. Agama Buddha itu
juga kita pakai di dalam kehidupan sehari hari karena biasanya Anda kan
kebaktian seminggu sekali sehingga Anda menganggapnya berbuat baiknya hari Minggu saja, hari lain jahat sedikit,
hari lain gosip gosip, hari minggu bebas gosip karena ke Vihara.
Hari Minggu menjalankan pancasila Buddhis, hari lain banyak
banyaklah pesan kepiting rebus karena ini bukan hari kebaktian. Kemudian
langsung tunjuk, kepiting berangkat. Ketika dikatakan, lha ini kan menjelang
Waisak. Justru menjelang Waisak saya mengantarkan kepiting terlahir di alam
yang lebih baik dengan saya makan, kalau kepiting dibiarkan kasihan dia hidup
sebagai kepiting terus. Dengan saya tunjuk, siapa tahun kepiting bisa hidup di
surga. Siapa tahu?
Sayangnya tidak ada yang tahu, endingnya, kepiting malah
masuk neraka gara gara tunjukkan kita, kan karma buruk jadinya. Tapi dalam sebulan ini, Anda tidak melakukan
itu, apalagi pada Attasila. Atthasila itu delapan sila ya. Jadi jangan nonton
tukul dan lain sebagainya.
Atthasila itu konsepnya tidak makan saja, salah! Itu baru
salah satu sila, di beberapa tempat begitu. Saya pada waktu awal awal SPD ini
sering ditunjukkan peraturan peraturan, ini Bhante peraturan peraturan SPD pada
tahun ini, berkunjung ke rumah umat, umat disarankan Atthasilla dalam kurung
tidak makan setelah jam dua belas. Saya ngomong, “ Ini Atthasilla atau
Ekasilla?” ini baru eka, baru satu. Tidak makan setelah jam dua belas itu baru
satu, Atthasilla itu delapan jumlahnya. Tiap hari masih nonton Tukul, sinetron,
baru latihan puasalah.
Nah... Saudara – saudara, karena kita menjalankan delapan
sila setiap hari, bukan hanya puasa saja, maka kita jadi teringat, ah, ini
harus apa, maka kita melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari
hari. Sehingga akhirnya menyadarkan kita
ketika sebulan pada dalam Dhamma itu bahwa, ajaran Sang Buddha bukan hanya
seminggu sekali. Coba kalau sehari hari biasa bukan sebulan dalam Dhamma pernah
tidak Anda berpikir, Anda sendiri kebaktian. Kebaktian? Nantilah hari Minggu
sudah cukup. Hari ini kita playstation sajalah, hari ini kita ke Mall sajalah,
hari ini kemana, pernah terpikir begitu
gak? Pernah kan? Pasti pernah! Namanya manusia kan pasti malas, itu pasti.
Normal sekali! Tapi, sebulan dalam
Dhamma ini Anda dilatih, ini lho, bukan hari Minggu tapi kebaktian, waktu
kebaktian tadi panjang panjang lagi. Paritta yang belum Anda dengar sebelumnya,
belajar, ini bagus karena memang bukan hanya hari Minggu saja, kita berbuat
baik setiap saat, setiap waktu kita berbuat baik.
Nah, saudara saudara, ajaran Sang Buddha tentu bukan hanya
kebaktian, kebaktian ini ritual, tradisi, duduk di lantai tradisi. Sehingga ada
orang yang ngomong, aku gak pengen kebaktian ah, kesemutan duduknya di lantai,
itu tradisi. Anda mau duduk di kursi juga boleh, tidak ada masalah.
Kemudian, uwahhh aku mau kebaktian, jauhhh.. aku dirumah sajalah
baca Paritta. Saudara saudara, kebaktian bukan hanya membaca Paritta, bakti
kepada Sang Buddha bukan hanya membaca Paritta, bakti kepada Sang Buddha bukan hanya
menyediakan bunga, dupa, lilin, bukan hanya menyediakan buah buahan, bukan.
Kalau baktinya seperti ini milik orang yang punya uang untuk beli buah. Kalau
nanti tidak punya uang untuk beli buah bagaimana berbakti, apa harus jual
rambut?
Darimana kaitannya jual rambut dengan uang?
Pernah dengar kisah itu?
Pada zaman Sang Buddha, nenek tua gak punya, akhirnya nenek
tua potong rambutnya dia jual, kemudian dapat uang lalu beli lampu minyak,
ketika semua lampu mati terkena angin badai, lampu nenek tua ini tetap hidup
karena dia persembahkan dengan penuh bakti. Nah, kalau Anda tidak punya uang,
apakah Anda harus jual rambut? Ya, rambut masih model panjang panjang sih, ok.
Nanti kalau rambut model kayak saya mau dijual apa? Untuk karpet?.
Nah, Saudara Saudara bukan hanya materi ini saja, Anda punya
uang Anda belikan buah yang bagus, bukan dipilihkan buah yang gak enak. Lalu
Anda berpikir, yah, Sang Buddha dikasih apel busuk dikasihkan di altar, yang
bagus dimakan sendiri toh gak ada yang protes, saya yakin Anda tidak akan
berpikir begitu. Walaupun Buddha disini hanya diwakili gambar atau patung, tapi
Anda tetap memberikan yang terbaik.
Ya, kan? Pernah Anda berpikir begitu?, ndak toh? Nah, ini
buahnya tidak enak, atau buah ini belum matang, tiga hari lagi baru mateng,
kasihkan ke altar dulu saja. Kalau dikasihkan di lemari, dimakan anak anak
nanti. Kasihkan ke altar saja. Tiga hari pas matang, kita turunkan, kupas,
asyik. Emangnya altar Sang Buddha jadi kulkas untuk nyimpen buah? Bikin tape
yang begitu, tapekan tiga hari. Nah hari ini ketelannya direbus, kasih ragi,
letakkan di altar untuk nyimpen. Tiga hari, besok tempat tape itu turunkan.
Sudah mateng, pas. Ini banyak berkah Sang Buddha lho, nyimpennya saja bikin
tape di depan Altar Sang Buddha.
Yah, ini sih salah! Tentu Anda selalu memberikan yang
terbaik! Tape ya tentu bukan tape mentah itu kemudian diletakkan di altar, tapi
tentu tape yang bagus Anda letakkan di altar, buah yang bagus Anda letakkan di
altar, barang barang yang bagus diletakkan di altar, cincin diletakkan di
altar, saya mau mandi dulu, ya, dompet diletakkan di altar. Ini meja
penyimpanan, penggadaian atau apa?
Ayo yang begituan
dirumah, harap jangan dibiasakan! Ada Toh? Yang mau mandi, dompetnya diletakkan
di altar, kunci kontak mobil diletakkan di altar mumpung ada meja, itu altar
seba guna, jangan! Ada bungkus permen ditaruh di meja. Jangan ya!
Altar harus kita hormati. Kalau kita tidak menghormati Altar
sendiri, masa tetangga yang harus menghormat? Tidak mungkin kan? Saya masih
sering lihat altar seba guna seperti itu, untuk tempat kunci kontak mobil,
dompet, jam tangan, handphone, kacamata, beberapa buku kadang begitu, komik
doraemon bisa diatas altar, nanti kalau Sang Buddha tertawa, kebingungan nanti
Anda setelah Sang Buddha atau Buddha Rupang ini membaca doraemonnya.
Saya kira ini sudah tak patut, jangan diletakkan begitu ya,
karena apa? Karena kita berikan yang terbaik. Penghormatan ini hanya
penghormatan berbentuk materi, Anda bisa melakukan yang terbaik. Karena Dhamma
atau SPD ini dilakukan sepanjang bulan sesungguhnya kita berpikir, apa saya
hanya memberikan materi saja? Memberikan dupa yang segar, memberikan bunga yang
segar, memberikan buah yang segar, apa saya menghormat hanya dalam bentuk
materi? Ternyata di dalam Dhamma, Sang Buddha lebih menekankan hormat dalam
bentuk prilaku.
Ketika Sang Buddha akan wafat, semua orang, semua Bhikkhu
sudah berkumpul. Ada Bhikkhu yang tidak berkumpul karena meditasi, lalu ada
Bhikkhu lain yang melaporkan kepada Sang Buddha, itu lho Sang Buddha, ada
Bhikkhu yang sombong, saat kita kumpul dia malah meditasi, ini kan hari hari
terakhir, saat saat terakhir, eh, Bhikkhu itu kok malah meditasi terus.
Lalu Sang Buddha mengatakan, itu yang benar, ngumpul ngumpul
tidak praktek Dhamma apa artinya. Dalam kehidupan kita juga demikian, sepanjang
hari, sepanjang waktu kita melakukan puja bakti. SPD pindah sana, pindah sini,
ditempat lain hanya dua puluh hari, disana tiga puluh hari, disini tiga puluh
dua hari semoga tidak over dosis.
Tapi saudara saudara penghormatan kepada Sang Buddha bukan
hanya baca paritta, baik pas masuk lokasi
puja bakti, selesai cuek tidak pusing, diselip orang marah, orang
nyebrang ngawur dimaki maki, nama binatang cepat keluar, yang disebut yang
jelek jelek lah binatangnya.
Itu sesungguhnya Anda belum praktek Dhamma, itu hanya Anda
praktek ritual umat Buddha. Ritual seperti ini bermanfaat karena Adna melakukan
puja bakti seperti ini, tetapi bentuk yang sangat dangkal, bentuk yang sangat
kasar, bentuk yang sangat dasar sekali, awal sekali.
Mari kita tingkatkan sekarang. Apa itu ritualnya?
Kalau Anda datang melakukan ritual, Anda menghormat Sang
Buddha, memberikan yang terbaik pada Sang Buddha, memberikan yang terbaik pada
Ajaran Sang Buddha. Kaki saja tidak berani ke depan. Padahal Cuma patung, tidak
berani kan kakiknya ke depan? Dengan patung Anda tidak berani bergitu,
bagaimana dengan kelakuan kita denga orang yang hidup?
Jangan patung kita hormat luar biasa, dengan orang yang hidup
kita tinggalkan, apa kita mau hidup dengan patung?
Ini lambang!
Kalau dengan patung saja Anda bisa berikan yang terbaik
walaupun tidak ada orang dirumah sekalipun, Anda pasti dirumah memberikan Sang
Buddha buah yang bagus, dupa yang bagus tidak Anda pilih itu dupanya yang baunya busuk busuk, walaupun di rumah
Anda sendiri tidak ada orang lain, Anda tetap berikan yang terbaik, lalu kita
berpikir terbalik, dengan patung saja kita memberikan yang terbaik, apakah kita
mampu memberikan yang terbaik kepada mereka yang ada di lingkungan kita?
Buah yang bagus kita berikan kepada patung, buah yang bagus
sudahkan kita berikan kepada orang tua kita?
Sudahkan kita berikan ke tetangga kita?
Kalau yang bagus diletakkan di altar, lalu yang jelek
diserahkan ke orang tua, ini baru kita upacara. Kalau kaki kedepan tapi tidak
didepan patung, tapi kalau didepan mertua malah kakinya goyang goyang menghadap
ke mertua, malahan dadah dadah mertua selamat jalan sambil pake kaki. Saya kira
itu belum umat Buddha.
Kamu bisa bayangin dadah dadah pake kaki, sambil selonjor,
kaki goyang goyang, dadah Mertua, dada Papa, dadah Mama, tapi kakinya. Ini
berarti kita belum jalani ajaran Sang Buddha. Padahal kalau kita balik, tadi
pada patung saja Anda tidak bisa kalau kaki Anda selonjor. Kenapa sekarang kita
pada orang tua kita begitu? Apa kita tidak malu?
Sebulan dalam Dhamma berarti saya mempunyai kesempatan
memperbaiki diri, membiasakan diri untuk selalu menjadi orang yang baik, ini
sesungguhnya merupakan salah satu latihan selama sebulan kita melakukan
penghayatan Dhamma. Ketika di depan altar Sang Buddha Anda baik baik ngomong,
dibeberapa rumah sudah punya altar sendiri dan tidak ngomong sembarangan, di
depan altar jaga ucapan, tapi kadang kadang kita di depan orang tua, didepan
orang yang harus kita hormati kita ngomong yang jelek jelek.
Pasangan hidup, dulu kalau pacaran, yank mau kemana yank?
Tapi sekarang sudah kawin sudah agak lama, eh, ndut, minggir
heh, apa tidak bisa ngomong yang lebih halus?
Apa tidak bisa ngomong yang lebih baik?
Di depan altar kita sudah dilatih ngomong yang lebih baik,
mertua datang, si tua bangka datang. Dia bukan tua Bangka, dia tua Samarinda
dia bukan dari Bangka, dia dari Samarinda. Yah, tua apa saja, tua Samarinda
pokoknya tua bangka lah. Kadnag kadang orang tua datang dibegitukan, sampai ada
orang tua yang mengatakan, lebih setia
tongkatku daripada anakku. Tongkatku kemana mana selalu menempel, tapi anakku
aku datangi menolak saya, mengatakan tua bangka kok gak pulang pulang, ini
malah dirumah ribut terus, rewel terus.
Coba Saudara saudara, kalau kita bisa memberikan yang terbaik
pada altar Buddha, kita juga harus bisa memberikan yang terbaik pada lingkungan
kita. Kita harus, aduh, aku kok ngomong jelek ya? Ini tadi Atthasila toh,
Atthasilla bukan hanya berpuasa saja, Atthasilla kan delapan latihan kemoralan.
Kalaupun kita ngomong puasa, okelah puasa kan bukan hanya puasa fisik, coba
kita puasa mental.
Apa itu puasa mental?
Mengendalikan ketamakan kita, mengendalikan kebencian kita,
karena kalau kita puasa, sesungguhnya yang kita lawan kan ketamakan dan
kebencian. Tamak mendapatkan makanan, benci dengan rasa lapar, coba Anda
melihat makanan yang Anda sukai, rasanya senang sekali. Coba kalau malam Anda
kelaparan, waduhhhh, tidur juga susah, bahwa kalau kita puasa itu mengendalikan
ketamakan dan mengendalikan kebencian.
Tamak makanan enak, benci kelaparan, sekarang makanan enak
itu artinya apa? Kenikmatan. Kenikmatan mata, kenikmatan kuping, kenikmatan
kulit, kenikmatan macam macam kita harus kendalikan.
Apa itu kenikmatan mata, kenikmatan kuping? Senang di hormati.
Mertua datang kerumahku, ini adalah rumahku, jangan macam
macam, tidak menghormati saya sebagai pemilik rumah walaupun mertua, out!
Keluar dari tempat ini! Pasangan hidup, kamu ikut rewel juga, ikut si tua
bangka itu, Jangan macam macam ini rumahku! Kalau kita berpuasa tiga puluh dua
hari, kalau ktia berpuasa enam puluh hari, bahkan berpuasa seumur hidup, kalau
kita masih tamak dengan hal hal seperti itu, puasa kita baru fisik, itu
tradisi, itu ritual sama dengan kebaktian yang tiap hari itu tidak ada artinya.
Puasa tadi artinya juga mengendalikan rasa benci kita dari rasa lapar, tidak
mendapatkan yang kita inginkan.
Ketika pasangan hidup sakit juga harus dihormati, juga harus
dihargai. Beberapa orang dalam banyak rumah tangga saya jumpai, senangnya
dengan pasangan hidup itu kalau sehat, kalau sehat ayo jalan jalan, ayo makan
makan, ayo pergi pergi. Tapi kalau
sakit, sakit lagi, sakit lagi kamu itu, aduhhh... sakit........, kalau ganti
pampersmu itu lho, berat!
Padahal pasangan hidup juga bisa sakit, kita kemudian menolak
yang tidak menyenangkan. Begitu sakit pasangan hidup, langsung... sudah kamu
sakit sakitan terus, aku mau cari yang lebih sehat, yang sakit sakitan tinggal
dirumah sakit, aku mau cari yang sehat sehat. Apa kita tidak terpikir kalau
suatu saat kita akan sakit sakitan juga? Kenapa? Karena kita menolak yang tidak
menyenangkan. Berapa banyak yang ktia jumpai dimasyarakat ketika orang tua
sudah pikun, ketika orang tua sudah sakit, ketika orang tua sudah berbaring di
tempat tidur, anaknya merasa kerepotan. Ini orang tua, Bhante, sudah sakit
sakitan kok tidak berangkat berangkat, kita ini repot Bhante, kita ini orang
sibuk. Dia kan sudah tidak bisa ngapa ngapain tapi kok masih bisa hidup?
Tapi masih hidup kan bisa ngapa-ngapain toh?
Sayangnya masih hidup, Bhante bacain paritta donk, Paritta
algojo. Karena kalau dibacain langsung amblas, ini Paritta algojo.
Mana ada buku Paritta Algojo?
Tapi itu yang kita jumpai dalam masyarakat. Pernah menjumpai
orang yang model begitu? Pernah, pasti pernah. Alau demikian apa gunanya
berpuasa? Berpuasa merupakan mengendalikan yang tidak kita sukai, kenapa
sekarang yang tidak sukai orang tua kita dirumah? Kenapa kita sering tidak bisa
mengendalikan diri?
Coba kita perbaiki sikap sikap ini sehingga Atthasilla bukan
hanya untuk upacara. Atthasilla bukan hanya untuk menaikkan derajat kita dari
yang lain. Di beberapa Vihara yang menjalankan Atthasilla pake seragam khusus,
disini ada? Ada di beberapa tempat pake seragam khusus, duduknya juga khusus
sehingga seolah olah, nih lho aku Atthasilla kamu ngak toh?, lebih rendah.
Atthasilla kok untuk meningkatkan status, Atthasilla ini kan
untuk melihat dan memahami diri dari segala kekurangan supaya kita bisa
memperbaiki diri. Ternyata kalau lihat teman makan ya masih kepengen, yah ini
lemah, malam malam gak bisa tidur buku Tukul, kepingin juga ya, lemah, lihat
berlian bagus mau pake, ini kelemahan kelemahan, supaya dengan Atthasilla ini
kita bisa melihat kelemahan kita, bukan malah punya status.
Aku Atthasilla yang lain tidak, bukan itu dasar ajaran Sang Buddha.
Kalau kita bisa menjalankan Dhamma di dalam kehidupan sehari hari dengan satu
hari saja puasa itu, yaitu berpuasa dengan hal hal yang bisa membuat kita
senang, jangan kalau orang gak mau memberi itu kita merasa stress, orang kok
gak memberi perhatian padaku yah? Masuk rumah aku lihat aku saja tidak,
emangnya aku bukan manusia nih? Lain kali jangan kesini. Biasanya kalau calon
menantu datang begitu. Temannya anak melihat orang tua dikiranya pembantu jadi
cuek, orang tua jengkel. Wah... aku
tidak dilihat ya! Lain kali Nak, jangan pacaran ama dia ya. Aku seheboh ini,
sehebat ini masa tidak dilihat sama sekali? Kita berarti lapar perhatian walaupun
kita Atthasilla, Atthasila kita baru upacara.
Coba di Kantor, dirumah beberapa pasangan hidup misalnya, si
A dan si B. Yang pinter kerja si A, tiap hari ditelepon karena urusan kerjaan. Si
A misalnya, istrinya yang pinter kerja. Ketika ada telepon, istrimu ada gak? Ini
aku gak nyari kamu ini lho, istrimu ada gak?
Ini aku ada kerjaan ini, urusan bisnis. Lama lama dia jengkel karena dia
mengharapkan, dia lapar penghormatan, aku ini suamimu gak direspon ya! Istri saja
yang dicari ya! Ini kelaparan lho orang seperti ini. Ini harus kita tinggalkan
pola pola pikir seperti itu, lapar penghormatan, lapar penghargaan, lapar
perhatian.
Itu temanmu itu modal apa datang kesini tidak pernah bawa
makanan?
Coba itu teman yang lain sering bawa makanan, sudah kamu
pacaran sama yang sering bawa makan saja.
Yang itu tidak usah!
Itu namanya kita lapar perhatian. Tapi, kebanyakan Anda mendapatkan
pasangan hidup, sesungguhnya, awalnya juga karena lapar perhatian. Anda memilih
pasangan hidup Anda itu nomor satu apa? Karena
dia penuh perhatian dengan Anda. Padahal Anda memilih pasangan hidup pada saat
Anda kenyang perhatian, ingin membahagiakan dia. Aku senang lho berkumpul sama
dia karena aku ingin membahagiakan dia, jadi kita kenyang, kita ingin
membahagiakan dia. Sayangnya kita lapar. Endingnya kalau kita sudah bahagia,
sudah gak lapar lagi, cuek. Berapa banyak suami istri endingnya cuek- cuekan? Aku
dulu sehat kamu perhatikan, aku sekarang sakit sakitan kok kamu cuek ya? Kok suster
saja yang ngurusi aku ya? Kenapa? Karena kita sudah kenyang.
Saudara saudara, sesungguhnya Dhamma ini ada dalam kehidupan
kita sehari hari. Bukan hanya berlapar laparan secara fisik, tapi kelaparan
secara mental itu jauh lebih berbahaya! Lapar fisik bisa dirasakan, kasar sekali,
begitu kita tidur lapar, bangun kita, kasar sekali. Lapar mental itu sangat
halus. Anda sendiri tidak merasa ketika timbul kelaparan mental itu, Anda
jengkel sendiri. Coba renungkan Saudara saudara apa sumber kejengkelan Anda?
Semuanya atau bisa dikatakan sebagian besar sumber
kejengkelan lapar mental. Orang ngeliatin Anda tidak senyum, apa yang timbul?
Bisa ngajak berkelahi toh? Karena apa? Karena anda lapar
mental! Senyum dong, kalau melihat gak bisa senyum, lapar mental. Ayo coba..
kalau Anda marah, semuanya rata rata lapar mental, tidak tahan kalau dirinya
tidak bahagia. Anda bermusuhan dengan pasangan hidup sampai berdiam diaman dua
hari, tiga hari, seminggu tidak ngomong.
Kenapa? Karena Anda lapar mental, harusnya dia yang ngomong duluan
karena dia yang salah, saya kan ngomong yang bener, dia salah minta maaf dong!
Pasangan hidup bisa dibegitukan, tapi ketika kita jengkel
kita diem – dieman.
Coba jalani puasanya ini, aku ngomong dulu ah, aku senyum
dulu lah sama dia. Apa salahnya dengan pasangan hidup? Kalau anda bisa begitu,
anda layak Atthasilla yang tadi kita bahas itu, Anda layak itu. Kenapa? Karena Anda
bisa berpuasa mental Anda. Sudahlah ego itu sudah tidak usah di perhatikan, tinggalkan
egonya.
Sekarang saya mau senyum senyum dulu, orang pasangan hidup
sendiri kok, kenapa aku harus diem dieman? Kalau kita bisa seperti itu, puasa
kita jalan didalam kehidupan kita sehari hari. Oleh karena itu Saudara saudara,
apa kuncinya hidup bermasyarakat dengan baik, berumah tangga dengan baik,
berkeluarga dengan kakek, nenek, atau pasangan hidup, dengan tetangga bisa
baik, dengan mertua bisa baik, dengan teman sekolah bisa baik, dengan teman
kuliah bisa baik, apa kuncinya itu?
Bisa berpuasa mental. Kalau Anda tidak bisa berpuasa mental, selamanya
Anda akan menjadi Trouble maker, membuat masalah karena selalu menyalahkan
orang lain. Sama dengan tradisi sebulan didalam penghayatan Dhamma kemudian
berpuasa, Anda menyalahkan Agama Buddha. Kenapa Agama Buddha bikin aturan tidak
makan setelah jam dua belas siang? Bikin repot saja! Ini adalah latihan kita. Kenapa
kita harus menyalahkan pihak lain? Sama dengan kita bermasyarakat. Kamu yang
salah! Kamu yang salah! Kamu yang salah! Padahal kita yang lapar. Lapar pengakuan,
lapar penghormatan, lapar ego kita terpuaskan.
Bisa kita menyadari sekarang lapar secara mental?
Kalau lapar secara fisik gampang sekali, lapar secara mental
halus sekali. Kita kadang tidak menyadari itu. Kalau Anda sekarang mulai
menyadari, tidak hanya pada malam ini Anda mengetahui, nanti sedikit demi
sedikit, lapar mental ini diperbaiki, sehingga kita bisa puasa mental.
Ada satu kisah orang sudah kenyang dan tidak lapar mental. Seseorang
yang datang kesebuah restaurant, kemudian dia datang dengan pakaian yang rapi,
tapi membawa guru spiritual yang pakaiannya sangat sederhana. Kemudian pegawai
restaurant karena melihat orang yang berpakaian rapi, dia berpikir kalau aku
melayani lebih baik pasti aku dikasih uang tips yang lebih banyak. Sedangkan guru
spiritual yang pakaiannya kurang bagus ini tidak usah terlalu dilayani, orang
pakaiannya tidak bagus bagaimana punya duit? Mana kalau pun ada tipsnya kecil.
Nah... saudara- saudara, sungguh orang yang berpakaian rapi
ini dilayani dengan baik baik, yang tidak berpakaian rapi ini dilihat juga tidak.
Padahal bos tadi mengatakan, “ Ini guruku lho!”
Si pelayan restaurant tetap cuek, tetapi pada akhir acara
makan malam itu tips yang diberikan si guru spiritual jauh lebih besar daripada
yang diberikan muridnya. Lho guru kamu kok memberi banyak, padahal kelakuannya
jelek. Sang guru menjawab, “Kenapa karena tindakan orang lain, saya harus
bertindak sama jeleknya dengan dia?
Kalau dia bertindak jelek jelek biarkan. Aku ingin berbuat
baik, itu urusanku. “Kenapa guru ini bisa berpikir demikian? Karena dia tidak lapar
spiritualnya. Coba kalau kita dibegitukan owh, kamu menghina saya ya! Nggak tak
kasih uang kamu! Kenapa kita demikian?
Karena kita masih lapar spiritual kita. Tapi dengan tindakan
guru tadi yang kenyang spiritualnya, kenapa orang jahat pada saya, saya harus
balas jahat? Biarkan dia jahat, biarkan dia berperilaku begitu, kenapa prilaku
saya didikte orang lain?
Orang lain jahat, maka aku makin jahat. Malahan sangking
laparnya, kamu jahat sama saya ya, aku
kalau dijahatin orang bisa membalas sepuluh kali lipat, tapi kalau aku dibaiki
orang aku juga sepuluh kali lipat lebih baik dari dia. Ini namanya lapar
sungguhan ini, sangat lapar! Tapi itu banyak lho di masyarakat pola pikir yang
begitu. Anda pernah berpikir demikian? Banyak, kasihan orang yang lapar seperti
ini, tapi kalau kita tahu, oh, kamu jahat, aku balas kebaikan, ini orang yang
kenyang. Owh, gak sudi aku berbuat baik dengan orang yang berbuat jahat sama
aku, lapar kamu berarti. Nanti pasangan pasangan hidup kalau sudah diem dieman
berhari hari, ngomong baik baik, sayangnya pasangan hidupku lapar ini. Lapar penghargaan,
lapar penghormatan, lapar minta orang ngalah sama dia. Kasihan ... kasihan..
lapar..lapar... kalau kita bisa merenungkan cara yang sederhana ini saja dimana
bisa digunakan didalam kehidupan sehari hari.
Tidak sia sia anda berlapar lapar selama tiga puluh dua hari
secara fisik. Tapi kalau Anda belum bisa melatih secara mental tahun ini, tidak
apa apa. Tahun depan emput puluh hari SPD, tahun berikutnya lagi enam puluh
hari, tahun berikutnya lagi tiga ratus enam puluh lima hari, SPD sepanjang
waktu. Bukan lagi sebulan penghayatan Dhamma tapi setahun penghayatan Dhamma
karena memang Dhamma bukan dipelajari dalam waktu waktu tertentu. Dhamma ini
sepanjang tahun, sepanjang waktu. Oleh karena itu Saudara saudara, marilah kita
atasi lapar mental kita bersama, sehingga akhirnya kita tidak menjadi Trouble
Makre, tidak menjadi pembuat masalah didalam kehidupan kita, di dalam lingkungan
kita, tetapi justru menjadi pemecah
permasalahan, karena dari diri kita sendirilah kita bisa mulai menyelesaikan
masalah masalah di keluarga kita.
Kalau kita mau rendah hati, kalau kita mau kenyang perhatian,
tidak membutuhkan perhatian dari lingkungan, kebahagiaan didalam keluarga,
kebahagiaan didalam bermasyarakat,
kebahagiaan didalam lingkungan akan dapat terwujudkan karena sesungguhnya
mereka yang melaksanakan Dhamma di dalam kehidupan sehari hari akan memperoleh
kebahagiaan Dhamma karena memang Dhamma bukan di pelajari dalam waktu waktu
tertentu. Dhamma ini sepanjang tahun,
sepanjang waktu. Oleh karena itu Saudara saudara, marilah kita atasi lapar
mental kita bersama, sehingga akhirnya kita tidak menjadi Trouble Maker, tidak
menjadi pembuat masalah di dalam kehidupan kita, di dalam lingkungan kita,
tetapi justru menjadi pemecah permasalahan, karena dari diri kita sendirilah
kita bisa mulai menyelesaikan masalah masalah di keluarga kita.
Semoga anda semua selalu berbahagia, semoga semua makhluk,
baik tampak maupun tak tampak, akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai
dengan karmanya masing masing.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta
Sumber :
Buku Mentalitas Buddhis
Transkrip Ceramah Dhamma Bhikkhu Uttamo Mahathera
Jika anda ingin mendapatkan buku lain, silahkan hubungi :
Bodhi Buddhist Centre Indonesia
Jl. Gaharu No. 18/71 Medan
Tel. (061) 7755-7799
Hp. 0877-6840-6869
: nyanasamwara@gmail.com |