Donasi : Bank BCA -- No. Rek, 8305-11-8393 --- A/N : ARINI

MENGATASI LAPAR MENTAL


MENGATASI LAPAR MENTAL
By. Bhikkhu Uttamo Mahathera

Namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhassa.
Namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhassa.
Namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhassa.

Melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari hari akan memberikan kebahagiaan. Saudara saudara yang berbahagia, acara pada malam hari ini tentu merupakan acara yang sangat baik. Selama satu bulan penuh Anda mengikuti kegiatan sebulan Penghayatan Dhamma dan saya yakin umat disini sama pada tahun tahun yang lalu, yaitu sejak hari pertama sampai dengan hari ketiga puluh dua nanti Anda selalu rajin, tetap rajin, tetap bersemangat.


Di beberapa tempat, sebulan dalam Dhamma isinya empat kali di hari minggu, ya apa bedanya sama hari hari biasa, kalau sebulan Dhammanya hanya di hari Minggu, ada juga di  beberapa tempat yang seminggu diawal sudah, ada juga seminggu di tengah, boleh juga atau, seminggu di akhir, tapi ini tiga puluh dua hari.

Mudah mudahan setelah sebulan penghayatan Dhamma atau tiga puluh dua hari penghayatan Dhamma, tekanan darah tetap sama, kolestrol tetap, karena tiap malam berpesta terus, kolestrolnya nanti naik. Banyak Atthasilla, berbahagialah sang penyelenggara acara.  Kalau semua berpuasa ini lebih bagus lagi. Dalam tiga puluh dua hari, langsung langsing karena Cuma tiga puluh dua hari, coba kalau sepuluh tahun tiap hari puasa malah gemuk. Karena tubuh sudah menyesuaikan metabolismenya.

Nah, Saudara saudara, penghayatan Dhamma ini sangat di perlukan sekali, karena bahkan bukan hanya di kota kota besar, di kota kota kecil, di desa desa penghayatan Dhamma ini pun mulai di giatkan.

Apa yang sesungguhnya yang kita tekankan, apa yang sesungguhnya yang kita pelajari di dalam penghayatan Dhamma semacam ini? Sesungguhnya penghayatan Dhamma ini untuk mengingatkan kepada kita bahwa ajaran Sang Buddha bukan hanya dipakai ketika kita di Vihara saja. Agama Buddha itu juga kita pakai di dalam kehidupan sehari hari karena biasanya Anda kan kebaktian seminggu sekali sehingga Anda menganggapnya berbuat baiknya  hari Minggu saja, hari lain jahat sedikit, hari lain gosip gosip, hari minggu bebas gosip karena ke Vihara.

Hari Minggu menjalankan pancasila Buddhis, hari lain banyak banyaklah pesan kepiting rebus karena ini bukan hari kebaktian. Kemudian langsung tunjuk, kepiting berangkat. Ketika dikatakan, lha ini kan menjelang Waisak. Justru menjelang Waisak saya mengantarkan kepiting terlahir di alam yang lebih baik dengan saya makan, kalau kepiting dibiarkan kasihan dia hidup sebagai kepiting terus. Dengan saya tunjuk, siapa tahun kepiting bisa hidup di surga. Siapa tahu?

Sayangnya tidak ada yang tahu, endingnya, kepiting malah masuk neraka gara gara tunjukkan kita, kan karma buruk jadinya.  Tapi dalam sebulan ini, Anda tidak melakukan itu, apalagi pada Attasila. Atthasila itu delapan sila ya. Jadi jangan nonton tukul dan lain sebagainya.

Atthasila itu konsepnya tidak makan saja, salah! Itu baru salah satu sila, di beberapa tempat begitu. Saya pada waktu awal awal SPD ini sering ditunjukkan peraturan peraturan, ini Bhante peraturan peraturan SPD pada tahun ini, berkunjung ke rumah umat, umat disarankan Atthasilla dalam kurung tidak makan setelah jam dua belas. Saya ngomong, “ Ini Atthasilla atau Ekasilla?” ini baru eka, baru satu. Tidak makan setelah jam dua belas itu baru satu, Atthasilla itu delapan jumlahnya. Tiap hari masih nonton Tukul, sinetron, baru latihan puasalah.

Nah... Saudara – saudara, karena kita menjalankan delapan sila setiap hari, bukan hanya puasa saja, maka kita jadi teringat, ah, ini harus apa, maka kita melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari hari.  Sehingga akhirnya menyadarkan kita ketika sebulan pada dalam Dhamma itu bahwa, ajaran Sang Buddha bukan hanya seminggu sekali. Coba kalau sehari hari biasa bukan sebulan dalam Dhamma pernah tidak Anda berpikir, Anda sendiri kebaktian. Kebaktian? Nantilah hari Minggu sudah cukup. Hari ini kita playstation sajalah, hari ini kita ke Mall sajalah, hari ini  kemana, pernah terpikir begitu gak? Pernah kan? Pasti pernah! Namanya manusia kan pasti malas, itu pasti. Normal sekali! Tapi, sebulan  dalam Dhamma ini Anda dilatih, ini lho, bukan hari Minggu tapi kebaktian, waktu kebaktian tadi panjang panjang lagi. Paritta yang belum Anda dengar sebelumnya, belajar, ini bagus karena memang bukan hanya hari Minggu saja, kita berbuat baik setiap saat, setiap waktu kita berbuat baik.

Nah, saudara saudara, ajaran Sang Buddha tentu bukan hanya kebaktian, kebaktian ini ritual, tradisi, duduk di lantai tradisi. Sehingga ada orang yang ngomong, aku gak pengen kebaktian ah, kesemutan duduknya di lantai, itu tradisi. Anda mau duduk di kursi juga boleh, tidak ada masalah.

Kemudian, uwahhh aku mau kebaktian, jauhhh.. aku dirumah sajalah baca Paritta. Saudara saudara, kebaktian bukan hanya membaca Paritta, bakti kepada Sang Buddha bukan hanya membaca Paritta, bakti kepada Sang Buddha bukan hanya menyediakan bunga, dupa, lilin, bukan hanya menyediakan buah buahan, bukan. Kalau baktinya seperti ini milik orang yang punya uang untuk beli buah. Kalau nanti tidak punya uang untuk beli buah bagaimana berbakti, apa harus jual rambut?

Darimana kaitannya jual rambut dengan uang?
Pernah dengar kisah itu?
Pada zaman Sang Buddha, nenek tua gak punya, akhirnya nenek tua potong rambutnya dia jual, kemudian dapat uang lalu beli lampu minyak, ketika semua lampu mati terkena angin badai, lampu nenek tua ini tetap hidup karena dia persembahkan dengan penuh bakti. Nah, kalau Anda tidak punya uang, apakah Anda harus jual rambut? Ya, rambut masih model panjang panjang sih, ok. Nanti kalau rambut model kayak saya mau dijual apa?  Untuk karpet?.

Nah, Saudara Saudara bukan hanya materi ini saja, Anda punya uang Anda belikan buah yang bagus, bukan dipilihkan buah yang gak enak. Lalu Anda berpikir, yah, Sang Buddha dikasih apel busuk dikasihkan di altar, yang bagus dimakan sendiri toh gak ada yang protes, saya yakin Anda tidak akan berpikir begitu. Walaupun Buddha disini hanya diwakili gambar atau patung, tapi Anda tetap memberikan yang terbaik.

Ya, kan? Pernah Anda berpikir begitu?, ndak toh? Nah, ini buahnya tidak enak, atau buah ini belum matang, tiga hari lagi baru mateng, kasihkan ke altar dulu saja. Kalau dikasihkan di lemari, dimakan anak anak nanti. Kasihkan ke altar saja. Tiga hari pas matang, kita turunkan, kupas, asyik. Emangnya altar Sang Buddha jadi kulkas untuk nyimpen buah? Bikin tape yang begitu, tapekan tiga hari. Nah hari ini ketelannya direbus, kasih ragi, letakkan di altar untuk nyimpen. Tiga hari, besok tempat tape itu turunkan. Sudah mateng, pas. Ini banyak berkah Sang Buddha lho, nyimpennya saja bikin tape di depan Altar Sang Buddha.

Yah, ini sih salah! Tentu Anda selalu memberikan yang terbaik! Tape ya tentu bukan tape mentah itu kemudian diletakkan di altar, tapi tentu tape yang bagus Anda letakkan di altar, buah yang bagus Anda letakkan di altar, barang barang yang bagus diletakkan di altar, cincin diletakkan di altar, saya mau mandi dulu, ya, dompet diletakkan di altar. Ini meja penyimpanan, penggadaian atau apa?

Ayo  yang begituan dirumah, harap jangan dibiasakan! Ada Toh? Yang mau mandi, dompetnya diletakkan di altar, kunci kontak mobil diletakkan di altar mumpung ada meja, itu altar seba guna, jangan! Ada bungkus permen ditaruh di meja. Jangan ya!

Altar harus kita hormati. Kalau kita tidak menghormati Altar sendiri, masa tetangga yang harus menghormat? Tidak mungkin kan? Saya masih sering lihat altar seba guna seperti itu, untuk tempat kunci kontak mobil, dompet, jam tangan, handphone, kacamata, beberapa buku kadang begitu, komik doraemon bisa diatas altar, nanti kalau Sang Buddha tertawa, kebingungan nanti Anda setelah Sang Buddha atau Buddha Rupang ini membaca doraemonnya.

Saya kira ini sudah tak patut, jangan diletakkan begitu ya, karena apa? Karena kita berikan yang terbaik. Penghormatan ini hanya penghormatan berbentuk materi, Anda bisa melakukan yang terbaik. Karena Dhamma atau SPD ini dilakukan sepanjang bulan sesungguhnya kita berpikir, apa saya hanya memberikan materi saja? Memberikan dupa yang segar, memberikan bunga yang segar, memberikan buah yang segar, apa saya menghormat hanya dalam bentuk materi? Ternyata di dalam Dhamma, Sang Buddha lebih menekankan hormat dalam bentuk prilaku.

Ketika Sang Buddha akan wafat, semua orang, semua Bhikkhu sudah berkumpul. Ada Bhikkhu yang tidak berkumpul karena meditasi, lalu ada Bhikkhu lain yang melaporkan kepada Sang Buddha, itu lho Sang Buddha, ada Bhikkhu yang sombong, saat kita kumpul dia malah meditasi, ini kan hari hari terakhir, saat saat terakhir, eh, Bhikkhu itu kok malah meditasi terus.

Lalu Sang Buddha mengatakan, itu yang benar, ngumpul ngumpul tidak praktek Dhamma apa artinya. Dalam kehidupan kita juga demikian, sepanjang hari, sepanjang waktu kita melakukan puja bakti. SPD pindah sana, pindah sini, ditempat lain hanya dua puluh hari, disana tiga puluh hari, disini tiga puluh dua hari semoga tidak over dosis.

Tapi saudara saudara penghormatan kepada Sang Buddha bukan hanya baca paritta, baik pas masuk lokasi  puja bakti, selesai cuek tidak pusing, diselip orang marah, orang nyebrang ngawur dimaki maki, nama binatang cepat keluar, yang disebut yang jelek jelek lah binatangnya.

Itu sesungguhnya Anda belum praktek Dhamma, itu hanya Anda praktek ritual umat Buddha. Ritual seperti ini bermanfaat karena Adna melakukan puja bakti seperti ini, tetapi bentuk yang sangat dangkal, bentuk yang sangat kasar, bentuk yang sangat dasar sekali, awal sekali.

Mari kita tingkatkan sekarang. Apa itu ritualnya?
Kalau Anda datang melakukan ritual, Anda menghormat Sang Buddha, memberikan yang terbaik pada Sang Buddha, memberikan yang terbaik pada Ajaran Sang Buddha. Kaki saja tidak berani ke depan. Padahal Cuma patung, tidak berani kan kakiknya ke depan? Dengan patung Anda tidak berani bergitu, bagaimana dengan kelakuan kita denga orang yang hidup?

Jangan patung kita hormat luar biasa, dengan orang yang hidup kita tinggalkan, apa kita mau hidup dengan patung?
Ini lambang!
Kalau dengan patung saja Anda bisa berikan yang terbaik walaupun tidak ada orang dirumah sekalipun, Anda pasti dirumah memberikan Sang Buddha buah yang bagus, dupa yang bagus tidak Anda pilih itu dupanya  yang baunya busuk busuk, walaupun di rumah Anda sendiri tidak ada orang lain, Anda tetap berikan yang terbaik, lalu kita berpikir terbalik, dengan patung saja kita memberikan yang terbaik, apakah kita mampu memberikan yang terbaik kepada mereka yang ada di lingkungan kita?

Buah yang bagus kita berikan kepada patung, buah yang bagus sudahkan kita berikan kepada orang tua kita?
Sudahkan kita berikan ke tetangga kita?
Kalau yang bagus diletakkan di altar, lalu yang jelek diserahkan ke orang tua, ini baru kita upacara. Kalau kaki kedepan tapi tidak didepan patung, tapi kalau didepan mertua malah kakinya goyang goyang menghadap ke mertua, malahan dadah dadah mertua selamat jalan sambil pake kaki. Saya kira itu belum umat Buddha.

Kamu bisa bayangin dadah dadah pake kaki, sambil selonjor, kaki goyang goyang, dadah Mertua, dada Papa, dadah Mama, tapi kakinya. Ini berarti kita belum jalani ajaran Sang Buddha. Padahal kalau kita balik, tadi pada patung saja Anda tidak bisa kalau kaki Anda selonjor. Kenapa sekarang kita pada orang tua kita begitu? Apa kita tidak malu?

Sebulan dalam Dhamma berarti saya mempunyai kesempatan memperbaiki diri, membiasakan diri untuk selalu menjadi orang yang baik, ini sesungguhnya merupakan salah satu latihan selama sebulan kita melakukan penghayatan Dhamma. Ketika di depan altar Sang Buddha Anda baik baik ngomong, dibeberapa rumah sudah punya altar sendiri dan tidak ngomong sembarangan, di depan altar jaga ucapan, tapi kadang kadang kita di depan orang tua, didepan orang yang harus kita hormati kita ngomong yang jelek jelek.

Pasangan hidup, dulu kalau pacaran, yank mau kemana yank?
Tapi sekarang sudah kawin sudah agak lama, eh, ndut, minggir heh, apa tidak bisa ngomong yang lebih halus?
Apa tidak bisa ngomong yang lebih baik?

Di depan altar kita sudah dilatih ngomong yang lebih baik, mertua datang, si tua bangka datang. Dia bukan tua Bangka, dia tua Samarinda dia bukan dari Bangka, dia dari Samarinda. Yah, tua apa saja, tua Samarinda pokoknya tua bangka lah. Kadnag kadang orang tua datang dibegitukan, sampai ada orang tua yang mengatakan, lebih  setia tongkatku daripada anakku. Tongkatku kemana mana selalu menempel, tapi anakku aku datangi menolak saya, mengatakan tua bangka kok gak pulang pulang, ini malah dirumah ribut terus, rewel  terus.

Coba Saudara saudara, kalau kita bisa memberikan yang terbaik pada altar Buddha, kita juga harus bisa memberikan yang terbaik pada lingkungan kita. Kita harus, aduh, aku kok ngomong jelek ya? Ini tadi Atthasila toh, Atthasilla bukan hanya berpuasa saja, Atthasilla kan delapan latihan kemoralan. Kalaupun kita ngomong puasa, okelah puasa kan bukan hanya puasa fisik, coba kita puasa mental.

Apa itu puasa mental?
Mengendalikan ketamakan kita, mengendalikan kebencian kita, karena kalau kita puasa, sesungguhnya yang kita lawan kan ketamakan dan kebencian. Tamak mendapatkan makanan, benci dengan rasa lapar, coba Anda melihat makanan yang Anda sukai, rasanya senang sekali. Coba kalau malam Anda kelaparan, waduhhhh, tidur juga susah, bahwa kalau kita puasa itu mengendalikan ketamakan dan mengendalikan kebencian.

Tamak makanan enak, benci kelaparan, sekarang makanan enak itu artinya apa? Kenikmatan. Kenikmatan mata, kenikmatan kuping, kenikmatan kulit, kenikmatan macam macam kita harus kendalikan.
Apa itu kenikmatan mata, kenikmatan kuping? Senang di hormati.

Mertua datang kerumahku, ini adalah rumahku, jangan macam macam, tidak menghormati saya sebagai pemilik rumah walaupun mertua, out! Keluar dari tempat ini! Pasangan hidup, kamu ikut rewel juga, ikut si tua bangka itu, Jangan macam macam ini rumahku! Kalau kita berpuasa tiga puluh dua hari, kalau ktia berpuasa enam puluh hari, bahkan berpuasa seumur hidup, kalau kita masih tamak dengan hal hal seperti itu, puasa kita baru fisik, itu tradisi, itu ritual sama dengan kebaktian yang tiap hari itu tidak ada artinya. Puasa tadi artinya juga mengendalikan rasa benci kita dari rasa lapar, tidak mendapatkan yang kita inginkan.

Ketika pasangan hidup sakit juga harus dihormati, juga harus dihargai. Beberapa orang dalam banyak rumah tangga saya jumpai, senangnya dengan pasangan hidup itu kalau sehat, kalau sehat ayo jalan jalan, ayo makan makan, ayo pergi pergi.  Tapi kalau sakit, sakit lagi, sakit lagi kamu itu, aduhhh... sakit........, kalau ganti pampersmu itu lho, berat!

Padahal pasangan hidup juga bisa sakit, kita kemudian menolak yang tidak menyenangkan. Begitu sakit pasangan hidup, langsung... sudah kamu sakit sakitan terus, aku mau cari yang lebih sehat, yang sakit sakitan tinggal dirumah sakit, aku mau cari yang sehat sehat. Apa kita tidak terpikir kalau suatu saat kita akan sakit sakitan juga? Kenapa? Karena kita menolak yang tidak menyenangkan. Berapa banyak yang ktia jumpai dimasyarakat ketika orang tua sudah pikun, ketika orang tua sudah sakit, ketika orang tua sudah berbaring di tempat tidur, anaknya merasa kerepotan. Ini orang tua, Bhante, sudah sakit sakitan kok tidak berangkat berangkat, kita ini repot Bhante, kita ini orang sibuk. Dia kan sudah tidak bisa ngapa ngapain tapi kok masih bisa hidup?

Tapi masih hidup kan bisa ngapa-ngapain toh?
Sayangnya masih hidup, Bhante bacain paritta donk, Paritta algojo. Karena kalau dibacain langsung amblas, ini Paritta algojo.
Mana ada buku Paritta Algojo?
Tapi itu yang kita jumpai dalam masyarakat. Pernah menjumpai orang yang model begitu? Pernah, pasti pernah. Alau demikian apa gunanya berpuasa? Berpuasa merupakan mengendalikan yang tidak kita sukai, kenapa sekarang yang tidak sukai orang tua kita dirumah? Kenapa kita sering tidak bisa mengendalikan diri?

Coba kita perbaiki sikap sikap ini sehingga Atthasilla bukan hanya untuk upacara. Atthasilla bukan hanya untuk menaikkan derajat kita dari yang lain. Di beberapa Vihara yang menjalankan Atthasilla pake seragam khusus, disini ada? Ada di beberapa tempat pake seragam khusus, duduknya juga khusus sehingga seolah olah, nih lho aku Atthasilla kamu ngak toh?, lebih rendah.

Atthasilla kok untuk meningkatkan status, Atthasilla ini kan untuk melihat dan memahami diri dari segala kekurangan supaya kita bisa memperbaiki diri. Ternyata kalau lihat teman makan ya masih kepengen, yah ini lemah, malam malam gak bisa tidur buku Tukul, kepingin juga ya, lemah, lihat berlian bagus mau pake, ini kelemahan kelemahan, supaya dengan Atthasilla ini kita bisa melihat kelemahan kita, bukan malah punya status.

Aku Atthasilla yang lain tidak, bukan itu dasar ajaran Sang Buddha. Kalau kita bisa menjalankan Dhamma di dalam kehidupan sehari hari dengan satu hari saja puasa itu, yaitu berpuasa dengan hal hal yang bisa membuat kita senang, jangan kalau orang gak mau memberi itu kita merasa stress, orang kok gak memberi perhatian padaku yah? Masuk rumah aku lihat aku saja tidak, emangnya aku bukan manusia nih? Lain kali jangan kesini. Biasanya kalau calon menantu datang begitu. Temannya anak melihat orang tua dikiranya pembantu jadi cuek, orang tua jengkel.  Wah... aku tidak dilihat ya! Lain kali Nak, jangan pacaran ama dia ya. Aku seheboh ini, sehebat ini masa tidak dilihat sama sekali? Kita berarti lapar perhatian walaupun kita Atthasilla, Atthasila kita baru upacara.

Coba di Kantor, dirumah beberapa pasangan hidup misalnya, si A dan si B. Yang pinter kerja si A, tiap hari ditelepon karena urusan kerjaan. Si A misalnya, istrinya yang pinter kerja. Ketika ada telepon, istrimu ada gak? Ini aku gak nyari kamu ini lho, istrimu ada gak?  Ini aku ada kerjaan ini, urusan bisnis. Lama lama dia jengkel karena dia mengharapkan, dia lapar penghormatan, aku ini suamimu gak direspon ya! Istri saja yang dicari ya! Ini kelaparan lho orang seperti ini. Ini harus kita tinggalkan pola pola pikir seperti itu, lapar penghormatan, lapar penghargaan, lapar perhatian.

Itu temanmu itu modal apa datang kesini tidak pernah bawa makanan?
Coba itu teman yang lain sering bawa makanan, sudah kamu pacaran sama yang sering bawa makan saja.  Yang itu tidak usah!

Itu namanya kita lapar perhatian. Tapi, kebanyakan Anda mendapatkan pasangan hidup, sesungguhnya, awalnya juga karena lapar perhatian. Anda memilih pasangan hidup Anda itu nomor satu apa?  Karena dia penuh perhatian dengan Anda. Padahal Anda memilih pasangan hidup pada saat Anda kenyang perhatian, ingin membahagiakan dia. Aku senang lho berkumpul sama dia karena aku ingin membahagiakan dia, jadi kita kenyang, kita ingin membahagiakan dia. Sayangnya kita lapar. Endingnya kalau kita sudah bahagia, sudah gak lapar lagi, cuek. Berapa banyak suami istri endingnya cuek- cuekan? Aku dulu sehat kamu perhatikan, aku sekarang sakit sakitan kok kamu cuek ya? Kok suster saja yang ngurusi aku ya? Kenapa? Karena kita sudah kenyang.

Saudara saudara, sesungguhnya Dhamma ini ada dalam kehidupan kita sehari hari. Bukan hanya berlapar laparan secara fisik, tapi kelaparan secara mental itu jauh lebih berbahaya! Lapar fisik bisa dirasakan, kasar sekali, begitu kita tidur lapar, bangun kita, kasar sekali. Lapar mental itu sangat halus. Anda sendiri tidak merasa ketika timbul kelaparan mental itu, Anda jengkel sendiri. Coba renungkan Saudara saudara apa sumber kejengkelan Anda?

Semuanya atau bisa dikatakan sebagian besar sumber kejengkelan lapar mental. Orang ngeliatin Anda tidak senyum, apa yang timbul?
Bisa ngajak berkelahi toh? Karena apa? Karena anda lapar mental! Senyum dong, kalau melihat gak bisa senyum, lapar mental. Ayo coba.. kalau Anda marah, semuanya rata rata lapar mental, tidak tahan kalau dirinya tidak bahagia. Anda bermusuhan dengan pasangan hidup sampai berdiam diaman dua hari, tiga hari, seminggu tidak ngomong.

Kenapa? Karena Anda lapar mental, harusnya dia yang ngomong duluan karena dia yang salah, saya kan ngomong yang bener, dia salah minta maaf dong!
Pasangan hidup bisa dibegitukan, tapi ketika kita jengkel kita diem – dieman.
Coba jalani puasanya ini, aku ngomong dulu ah, aku senyum dulu lah sama dia. Apa salahnya dengan pasangan hidup? Kalau anda bisa begitu, anda layak Atthasilla yang tadi kita bahas itu, Anda layak itu. Kenapa? Karena Anda bisa berpuasa mental Anda. Sudahlah ego  itu sudah tidak usah di perhatikan, tinggalkan egonya.

Sekarang saya mau senyum senyum dulu, orang pasangan hidup sendiri kok, kenapa aku harus diem dieman? Kalau kita bisa seperti itu, puasa kita jalan didalam kehidupan kita sehari hari. Oleh karena itu Saudara saudara, apa kuncinya hidup bermasyarakat dengan baik, berumah tangga dengan baik, berkeluarga dengan kakek, nenek, atau pasangan hidup, dengan tetangga bisa baik, dengan mertua bisa baik, dengan teman sekolah bisa baik, dengan teman kuliah bisa baik, apa kuncinya itu?

Bisa berpuasa mental. Kalau Anda tidak bisa berpuasa mental, selamanya Anda akan menjadi Trouble maker, membuat masalah karena selalu menyalahkan orang lain. Sama dengan tradisi sebulan didalam penghayatan Dhamma kemudian berpuasa, Anda menyalahkan Agama Buddha. Kenapa Agama Buddha bikin aturan tidak makan setelah jam dua belas siang? Bikin repot saja! Ini adalah latihan kita. Kenapa kita harus menyalahkan pihak lain? Sama dengan kita bermasyarakat. Kamu yang salah! Kamu yang salah! Kamu yang salah! Padahal kita yang lapar. Lapar pengakuan, lapar penghormatan, lapar ego kita terpuaskan.

Bisa kita menyadari sekarang lapar secara mental?
Kalau lapar secara fisik gampang sekali, lapar secara mental halus sekali. Kita kadang tidak menyadari itu. Kalau Anda sekarang mulai menyadari, tidak hanya pada malam ini Anda mengetahui, nanti sedikit demi sedikit, lapar mental ini diperbaiki, sehingga kita bisa puasa mental.

Ada satu kisah orang sudah kenyang dan tidak lapar mental. Seseorang yang datang kesebuah restaurant, kemudian dia datang dengan pakaian yang rapi, tapi membawa guru spiritual yang pakaiannya sangat sederhana. Kemudian pegawai restaurant karena melihat orang yang berpakaian rapi, dia berpikir kalau aku melayani lebih baik pasti aku dikasih uang tips yang lebih banyak. Sedangkan guru spiritual yang pakaiannya kurang bagus ini tidak usah terlalu dilayani, orang pakaiannya tidak bagus bagaimana punya duit? Mana  kalau pun ada tipsnya kecil.

Nah... saudara- saudara, sungguh orang yang berpakaian rapi ini dilayani dengan baik baik, yang tidak berpakaian rapi ini dilihat juga tidak. Padahal bos tadi mengatakan, “ Ini guruku lho!”
Si pelayan restaurant tetap cuek, tetapi pada akhir acara makan malam itu tips yang diberikan si guru spiritual jauh lebih besar daripada yang diberikan muridnya. Lho guru kamu kok memberi banyak, padahal kelakuannya jelek. Sang guru menjawab, “Kenapa karena tindakan orang lain, saya harus bertindak sama jeleknya dengan dia?

Kalau dia bertindak jelek jelek biarkan. Aku ingin berbuat baik, itu urusanku. “Kenapa guru ini bisa berpikir demikian? Karena dia tidak lapar spiritualnya. Coba kalau kita dibegitukan owh, kamu menghina saya ya! Nggak tak kasih uang kamu! Kenapa kita demikian?

Karena kita masih lapar spiritual kita. Tapi dengan tindakan guru tadi yang kenyang spiritualnya, kenapa orang jahat pada saya, saya harus balas jahat? Biarkan dia jahat, biarkan dia berperilaku begitu, kenapa prilaku saya didikte orang lain?

Orang lain jahat, maka aku makin jahat. Malahan sangking laparnya, kamu jahat sama saya ya,  aku kalau dijahatin orang bisa membalas sepuluh kali lipat, tapi kalau aku dibaiki orang aku juga sepuluh kali lipat lebih baik dari dia. Ini namanya lapar sungguhan ini, sangat lapar! Tapi itu banyak lho di masyarakat pola pikir yang begitu. Anda pernah berpikir demikian? Banyak, kasihan orang yang lapar seperti ini, tapi kalau kita tahu, oh, kamu jahat, aku balas kebaikan, ini orang yang kenyang. Owh, gak sudi aku berbuat baik dengan orang yang berbuat jahat sama aku, lapar kamu berarti. Nanti pasangan pasangan hidup kalau sudah diem dieman berhari hari, ngomong baik baik, sayangnya pasangan hidupku lapar ini. Lapar penghargaan, lapar penghormatan, lapar minta orang ngalah sama dia. Kasihan ... kasihan.. lapar..lapar... kalau kita bisa merenungkan cara yang sederhana ini saja dimana bisa digunakan didalam kehidupan sehari hari.

Tidak sia sia anda berlapar lapar selama tiga puluh dua hari secara fisik. Tapi kalau Anda belum bisa melatih secara mental tahun ini, tidak apa apa. Tahun depan emput puluh hari SPD, tahun berikutnya lagi enam puluh hari, tahun berikutnya lagi tiga ratus enam puluh lima hari, SPD sepanjang waktu. Bukan lagi sebulan penghayatan Dhamma tapi setahun penghayatan Dhamma karena memang Dhamma bukan dipelajari dalam waktu waktu tertentu. Dhamma ini sepanjang tahun, sepanjang waktu. Oleh karena itu Saudara saudara, marilah kita atasi lapar mental kita bersama, sehingga akhirnya kita tidak menjadi Trouble Makre, tidak menjadi pembuat masalah didalam kehidupan kita, di dalam lingkungan  kita, tetapi justru menjadi pemecah permasalahan, karena dari diri kita sendirilah kita bisa mulai menyelesaikan masalah masalah di keluarga kita.

Kalau kita mau rendah hati, kalau kita mau kenyang perhatian, tidak membutuhkan perhatian dari lingkungan, kebahagiaan didalam keluarga, kebahagiaan didalam  bermasyarakat, kebahagiaan didalam lingkungan akan dapat terwujudkan karena sesungguhnya mereka yang melaksanakan Dhamma di dalam kehidupan sehari hari akan memperoleh kebahagiaan Dhamma karena memang Dhamma bukan di pelajari dalam waktu waktu tertentu. Dhamma ini sepanjang  tahun, sepanjang waktu. Oleh karena itu Saudara saudara, marilah kita atasi lapar mental kita bersama, sehingga akhirnya kita tidak menjadi Trouble Maker, tidak menjadi pembuat masalah di dalam kehidupan kita, di dalam lingkungan kita, tetapi justru menjadi pemecah permasalahan, karena dari diri kita sendirilah kita bisa mulai menyelesaikan masalah masalah di keluarga kita.

Semoga anda semua selalu berbahagia, semoga semua makhluk, baik tampak maupun tak tampak, akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan karmanya masing masing.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta

Sumber :
Buku Mentalitas Buddhis
Transkrip Ceramah Dhamma Bhikkhu Uttamo Mahathera

Jika anda ingin mendapatkan buku lain, silahkan  hubungi :
Bodhi Buddhist Centre Indonesia
Jl. Gaharu No. 18/71 Medan
Tel. (061) 7755-7799
Hp. 0877-6840-6869


Comments
0 Comments
>

Arini