Apa yang diajarkan oleh Buddha sepanjang 45 tahun sangatlah banyak, meliputi berbagai aspek yang sangat beragam dan mengagumkan, sehingga para sarjana menyebut Buddhisme sebagai agama ; filsafat ; kode etik ; sistem filsafat yang sekaligus adalah religi ; dan idealisme yang etis. Belum ada yang menemukan suatu agama dengan psikologi tampak begitu luas seperti dalam agama Buddha. Yang umumnya disebut psikologi secara akademis, seperti pengetahuan akademis yang lain, mendefinisikan pikiran dengan istilah yang statis, sedangkan psikologi Buddhis mendefinisikan kehidupan mental dengan istilah yang dinamis. Bagaimanapun juga, setelah melalui banyak perjuangan dan usaha yang terus menerus, psikologi modern akhirnya telah meninggalkan tempatnya yang bobrok dalam sekolah – sekolah ortodoks dan menemukan kembali ajaran kuno tentang pikiran yang dinamis. Ada beberapa variasi yang tidak diragukan tetapi prinsip dasarnya adalah satu. Kini banyak ahli jiwa menerima sifat dinamis dari pikiran manusia, dan buku – buku psikologi modern telah meninggalkan ilmu sebelumnya tentang tingkah laku manusia.
Bagi Buddha bahkan pertanyaan mengenai agama dan asal usulnya bukanlah suatu yang bersifat metafisika, melainkan bersifat psikologis dan akal budi. Buddha menolak untuk menjawab pertanyaan seperti : Apakah dunia kekal atau tidak ? Apakah dunia terbatas atas tak terbatas ? Apakah dunia memiliki akhir atau tidak ? Dari manakah asal usul dunia ? Pada saat seperti itu Buddha tidak menjawab pertanyaan yang tampaknya penting namun sia – sia itu, karena diam merupakan jawaban terbaik bagi pertanyaan yang spekulatif dan tak bermanfaat. Satu – satunya cara mengatasi keragu – raguan dan kesulitan ini adalah melalui penyelidikan lubuk hati manusia yang paling dalam yang hanya dapat dilakukan dengan introspeksi diri yang mendalam berdasarkan pada kemurnian tingkah laku dan hasil meditasi.
Seluruh pokok ajaran agama Buddha seperti doktrin tentang karma, perbuatan berdasarkan kehendak, atau sebab – sebab moral, dan kelahiran kembali, meditasi dan hasil dari pencapaian batin, dipelajari dengan baik dan diteliti sebagai cara berpikir manusia, dan karena itulah, agama Buddha lebih tepat lagi digambarkan sebagai pelajaran mengenai psikologi yang tertinggi.
Abhidhamma Pitaka dari kitab suci agama Buddha memberikan catatan yang luas mengenai pikiran dan faktor – faktor mental sebuah tingkah laku untuk membentuk pandangan hidup umat Buddha. Bagaimanapun, pelajaran yang mendalam mengenai percakapan, atau khotbah – khotbah Buddha dalam Sutta Pitaka, cenderung menghasilkan keyakinan bahwa ilmu kejiwaan memainkan peranan yang bermakna. Apa yang dikatakan oleh Buddha tentang kemurnian pikiran manusia, cara membersihkannya dan seni mengendalikannya dan bukan menjadi budaknya, diucapkan dengan jelas dalam khotbah – khotbah dari Sutta Pitaka. Dalam hal ini Sati patthana Sutta ( khotbah mengenai landasan kesadaran )1, Vitaka Santhana Sutta ( membersihkan pikiran – pikiran yang kacau )2 dan beberapa khotbah utama lainnya merupakan contoh – contoh yang mencolok.
Agama Buddha merupakan agama yang paling bersifat psikologis. Ini diartikan bahwa cara kerja yang rumit dari pikiran manusia lebih diuraikan sepenuhnya dalam agama Buddha daripada dalam agama lain, dan karena itulah, ilmu psikologi lebih banyak bekerja sama dengan agama Buddha daripada agama – agama lain.
Apakah agama Buddha berhubungan dengan psikologi modern ? Seseorang mungkin menanyakannya. Ya, tetapi dengan beberapa perbedaan. Agama Buddha lebih menaruh perhatian pada penyembuhannya daripada analitis. Agama Buddha menolong kita melebihi orang intelek untuk betul – betul menjalani hidup itu sendiri.
Melalui meditasi Buddha telah menemukan penyakit – penyakit universal dari hati dan pikiran manusia yang lebih dalam. Pengetahuan yang mendalam yang menakjubkan mengenai cara kerja pikiran menjadikan Buddha sebagai seorang ahli psikologi dan ilmuwan yang paling unggul. Diakui bahwa jalannya untuk sampai pada kebenaran kehidupan batin ini bukanlah suatu percobaan, namun apa yang telah ditemukan oleh Buddha tetap benar, dan dalam kenyataannya telah dibenarkan oleh orang yang telah mengalami. Tetapi tujuan yang dijanjikan dalam penyelidikan ini sangat berbeda dari ilmuwan.
Pernyataan Buddha mengenai sifat alami dari jasmani dan rohani diarahkan pada tujuan – tujuan yang spesifik. Tujuan itu melulu adalah pembebasan individu, penyelamatan tertinggi dari keterikatan.
Buddha sangat menekankan fenomena pikiran dan mental karena peranannya yang penting, bahwa kehidupan pribadi kita terletak pada asal dari perbuatan manusia itu. Dalam agama lain, dasarnya adalah Tuhan. Dalam agama Buddha, pikiran yang merupakan dasar.
Kitab suci Kristen dimulai dengan ucapan “ Pada permulaannya Tuhan menciptakan langit dan bumi “, sedangkan dalam Dhammapada, kalimat pembukanya mengatakan : “ Mano pubbangama dhamma mano settha manomaya “, “ Segala keadaan ditentukan oleh pikiran, dijadikan oleh pikiran “. Kata Tuhan dalam agama Kristen, sama sebagaimana juga kata – kata Tuhan dari semua agama, menunjukkan jalan menuju Tuhan dan Surga, alam baka. Buddha menekankan pentingnya pikiran dalam upaya pembebasan, mengarahkan manusia ke jalan yang membedakan dan meneliti, dan mendorong mereka agar menyibukkan diri dengan tugas sesungguhnya yaitu mengembangkan kekuatan batin dan kemampuan pikiran dari dalam. Buddha berkata : “ Perjuangan harus kaulaksanakan sendiri, dan usahakanlah pembebasanmu ; Buddha hanyalah penunjuk jalan “.3
Agar memahami sepenuhnya gagasan mengenai kebebasan pikiran, perlu menghargai pentingnya pikiran. Jika tak ada pemahaman yang benar mengenai pentingnya pikiran manusia, kita tidak dapat menghargai sepenuhnya segala alasan mengapa sangat perlu mengembangkan dan menjaga kebebasan pikiran.
Dari semua kekuatan, kekuatan pikiran adalah yang paling besar. Ia menguasai kekuatan lainnya. Ia merupakan kekuatan dari dirinya sendiri dan terdapat di dalamnya. Usaha apa pun untuk menghalangi pertumbuhan kekuatan ini adalah sebuah langkah di arah yang salah. Belum ada yang memahami kekuatan pikiran sejelas Buddha.
Agama Buddha, sementara tidak menyangkal dunia materi dan pengaruh yang besar dari tubuh fisik terhadap kehidupan batin, menekankan sangat pentingnya pikiran manusia. Suatu ketika seorang Bhikkhu bertanya kepada Buddha : “ Yang Mulia, dengan apakah dunia itu diatur ? Dengan apakah dunia itu bergerak ? Di bawah pengaruh apakah suatu fenomena musnah seluruhnya ? “ Jawaban Buddha bersifat pasti : “ Begini Bhikkhu, dunia diatur oleh pikiran ( batin ) ; dengan pikiranlah dunia bergerak ; segala suatu musnah di bawah pengaruh pikiran, Dharma yang satu “.4 Dalam sudut pandang Buddhis pikiran atau kesadaran merupakan inti keberadaan kita. Seluruh pengalaman psikologis kita, seperti kesakitan dan kenikmatan, kesedihan dan kebahagiaan, kebaikan dan kejahatan, kehidupan dan kematian tidak dihubungkan dengan faktor eksternal apa pun. Semuanya itu adalah hasil dari pikiran kita sendiri dan akibat dari kegiatannya.
Pandangan hidup Buddhis adalah suatu proses yang intens membersihkan ucapan, tindakan dan pikiran seseorang. Ini adalah pengembangan diri dan pemurnian diri yang menghasilkan kesadaran diri. Penekanannya pada hasil yang berguna dan tidak hanya berupa spekulasi filosofis, teori logika atau bahkan renungan semata – mata. Etos dan psikologi Buddhis dibangun berdasar kebenaran abadi tentang dukkha, ketidakpuasan semua makhluk duniawi, seluruh keberadaan empiris. Buddha berkata :
“ Aku hanya mengajarkan satu hal penderitaan dan cara mengakhiri penderitaan “.5
Memahami ucapan yang tegas ini berarti memahami agama Buddha ; karena seluruh ajaran Buddha tak lain dari penerapan prinsip yang satu ini. Apa yang dapat disebut sebagai penemuan seorang Buddha hanyalah berupa Empat Kebenaran Mulia ; yaitu dukkha, munculnya atau asal mula dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha. Dan selebihnya berupa pengembangan logika dan penjelasan yang lebih rinci dari empat kebenaran tersebut. “ Inilah ajaran yang khas dari para Buddha di semua zaman “.6
Buddha adalah guru yang praktis. Kepada mereka yang mendengarkanNya, Beliau menjelaskan secara rinci masalah dukkha, fakta kehidupan yang universal, dan mencoba untuk membuat manusia merasakan seluruh kekuatannya. Beliau dengan pasti telah memberitahukan kepada kita apa yang dijelaskannya dan apa yang tidak dijelaskannya. Bagi orang yang memandang dunia dan seluruh isinya dengan pandangan yang benar, yang dipentingkan dalam kehidupan terutama bukanlah spekulasi semata – mata ataupun perjalanan yang sia – sia menuju dunia impian dengan khayalan yang tinggi, melainkan pencapaian kebahagiaan sejati dan terbatas dari dukkha, ketidakpuasan. Bagi mereka pengertian yang sebenarnya tergantung pada pertanyaan pokok : Dapatkah pelajaran ini kita gunakan untuk mendapatkan kedamaian batin dan ketenangan, mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya ? Buddha berkata : “ Dalam tubuh ini yang sedepa ukurannya, berikut kesadaran dan pencerapannya, Aku nyatakan adanya dunia, kemunculannya, lenyapnya dan jalan menuju lenyapnya dunia itu “. Di sini kata “ dunia “ menyatakan dukkha ( A.ii. 48 ).
Menurut ajaranNya, penderitaan tidak dapat dipisahkan dari lima agregat, dari jasmani yang panjangnya sedepa ini dan apa yang disebut batin. Lima agregat dan penderitaan adalah sama, dan bukan merupakan dua hal yang berbeda. “ Apakah penderitaan itu ? “ tanya Buddha, dan jawabnya : “ Harus dikatakan bahwa ini adalah lima agregat yang mengikat “.7
Setiap bentuk penderitaan dialami seseorang melalui kelahiran kembali dalam berbagai alam kehidupan. Dan tak ada apa pun di dunia selain penderitaan bagi orang yang melihat kehidupan dengan benar ; karena semuanya, termasuk bentuk kenikmatan nafsu indra yang paling dan sangat hebat, adalah tidak kekal, lenyap dan berlalu. Itulah sebabnya Buddha menyatakan : “ Segala yang dialami adalah penderitaan “. ( Yamkimci vedayitam sabbam tam dukkhasmimti vadami ).
Sekarang jelaslah bahwa untuk memahami kebenaran pertama, dukkha, sama seperti tiga kebenaran yang lainnya, perlu memiliki pemahaman yang jelas mengenai lima agregat yang membentuk sosok manusia. Dalam bahasa yang umum kita mengatakan “ manusia “ ; tetapi dalam pengertian akhir tak ada yang dinamakan “ manusia “ itu ; yang ada hanyalah manifestasi kekuatan atau energi dari batin dan jasmani yang selalu berubah. Kekuatan atau energi ini membentuk agregat, dan apa yang kita sebut sebagai manusia tidak lain dari gabungan kelima agregat yang selalu berubah ini. Lalu apa sajakah kelima agregat itu ?
Menurut agama Buddha, manusia adalah gabungan jiwa dan tubuh dari batin dan jasmani ( nama rupa ). Bagian “ batin “ dibagi dalam empat kelompok, yaitu : perasaan ( vedana ) ; pencerapan, berupa kesan – kesan, gambaran atau gagasan dan konsep ( sanna ), bentuk – bentuk pikiran atau bentuk karma dan sejenisnya ( sankhara ), dan kesadaran ( vinnana ). Empat kelompok batin inilah yang merupakan unsur non fisik dalam diri manusia yang secara bersama – sama dianggap sebagai batin ( nama ). Bersama dengan unsur jasmani ( rupa ), yang disebut manusia ini dikenal sebagai lima agregat ( pancakkhandha ) yang membentuk sesosok individu.
Dalam studi kita mengenai psikologi, Buddhis atau yang lainnya, kita merasa harus bertanya apakah pikiran dan otak berbeda satu sama lain. Benar bahwa ada hubungan yang erat antara pikiran dan otak. Kegiatan mental berhubungan dengan perintah – perintah otak. Pikiran bukanlah sesuatu yang dapat dipegang, yang dapat diperiksa dengan uji kimia apa pun. Ia tidak terlihat, tak dapat diraba dan tidak dapat ditangkap dengan pancaindra. Ia terletak di luar alam dunia fisik ; sekalipun kita dapat memperoleh gambaran mengenai sifat dan strukturnya dan bagaimana ia bekerja sebagai satu kesatuan. Tetapi otak adalah hal lain. Kita dapat membicarakan keadaan otak yang sebenarnya, strukturnya dan juga fungsinya.
Walaupun pikiran tidak kebal terhadap pengaruh luar, tidak berada di bawah pengawasan faktor yang lain, ia adalah tuan dari mereka. Dengan pikirannyalah manusia mencari kebenaran, menyelidiki hakikat sebenarnya dari benda – benda, yang memungkinkannya mempelajari rahasia dan artinya.
Singkatnya, tubuh, badan jasmani manusia, mengandung dan terdiri dari empat unsur dasar ( cattari mahabhutani ) yang secara tradisional dikenal sebagai unsur padat, cair, panas, atau suhu, dan gerakan atau getaran ( pathavi, apo, tejo, vayo ). Dalam konteks ini, mereka bukan hanya berupa tanah, air, api dan udara, walaupun biasanya mereka disebut demikian. Dalam pemikiran Buddhis, khususnya abhidharma, mereka lebih dari itu. Ringkasnya pathavi atau kepadatan merupakan unsur pengembangan. Apo, Zat cair adalah unsur kohesi. Tejo adalah unsur panas atau suhu. Vayo adalah unsur gerakan, ia berpindah. Setiap objek materi terbuat dari empat unsur dasar walaupun yang satu atau lainnya tampak lebih besar porsinya.
Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, keempat unsur non fisik dari manusia, seluruh proses mental dan emosi tercakup dalam kata “ pikiran “ . Penganut agama Buddha mengenal tiga istilah Pali ; mano, citta dan vinnana. Istilah ini sering kali diterjemahkan sebagai pikiran dalam konteks tertentu atau yang lainnya, walaupun seorang pengikut yang suka membedakannya akan menerjemahkan vinnana sebagai kesadaran atau kesadaran kognitif. Kata Inggris “ mind ( pikiran ) “ tidaklah cukup menyampaikan arti dari kata Pali mano atau citta. Tiga istilah ini, mano, citta dan vinnana, bagaimanapun juga, adalah sinonim ( yam ca kho bhikkhave vuccati cittam itipi mano itipi vinnanam )8 namun memiliki perbedaan sendiri dan kegunaan khusus dalam konteks tertentu, dan dengan seluruh perbedaan artinya mereka menunjukkan aspek psikologis dari ajaran Buddha.
Istilah vinnana memiliki arti yang lebih dalam psikologi Buddhis. Dalam psikologi Barat, pikiran umumnya didefinisikan sebagai : “ Totalitas struktur dan proses kejiwaan yang teratur, sadar, tidak sadar dan bersifat filosofis endopsikis ketimbang psikologis, kesatuan atau subtrat itu mendasari struktur dan proses tersebut. “ Menurut filsafat : “ Pikiran digunakan dalam dua pokok pengertian : ( a ) pikiran individual merupakan diri atau subjek yang merasa, mengingat, mengkhayal, mengira, memahami, menimbang, menginginkan dan sebagainya, dan yang secara fungsional berhubungan dengan organisme jasmani sesosok individu ; ( b ) pikiran secara umum dianggap sebagai substansi metafisika yang meliputi seluruh pikiran individu dan yang membedakannya dari tubuh atau subtansi materi “.10
Marilah sekarang kita bahas keempat agregat vedana, sanna, sankhara dan vinnana yang membentuk jiwa dari pikiran.
Vedana adalah agregat perasaan yang menyertai kesan – kesan dan pikiran kita. Perasaan ada tiga jenis : senang, tidak senang, dan netral. Mereka tergantung pada kontak. Dengan melihat suatu bentuk atau objek yang terlihat, mendengar suara, mencium bau, mengecap rasa, menyentuh benda yang nyata, menyadari objek pikiran ( gagasan atau pikiran ), manusia mengalami perasaan. Keenam macam perasaan ini dialami masing – masing melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran ( indra pikiran, manindriya, dianggap sebagai indra keenam dalam psikologi Buddhis ). Misalnya, ketika mata, bentuk dan kesadaran penglihatan ( cakkhu vinnana ) terjadi bersamaan, kejadian inilah yang disebut kontak. Kontak berarti gabungan dari organ indra, objek indra dan kesadaran indrawi. Ketika ini hadir bersamaan tak ada kekuatan ataupun tenaga yang dapat mencegah timbulnya perasaan.
Selanjutnya adalah agregat pencerapan ( sannakkhandha ). Fungsi pencerapan dalam psikologi Buddhis adalah pengenalan ( samjanana ) pada objek, tubuh dan batin. Pencerapan, seperti juga perasaan, terdiri dari enam macam : pencerapan bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan tubuh dan objek pikiran. Bentuk ekstrasensori dari pencerapan seperti telepati dan mata batin ( clairvoyance ) juga termasuk dalam agregat pencerapan.
Ada pertalian tertentu antara pengetahuan ( vijanana ), yang merupakan fungsi dari kesadaran dan pengenalan ( sanjanana ), fungsi dari pencerapan. Saat kesadaran menyadari suatu objek, serentak pencerapan menangkap ciri khusus dari objek itu dan dengan itu membedakannya dari objek yang lain. Ciri khusus ini merupakan instrumen dalam mengenali objek itu untuk kedua dan ketiga kalinya, dan kenyataannya, setiap saat kita menyadari obyek ini. Itulah pencerapan, sanna, yang menghasilkan ingatan.
Penting untuk dicatat bahwa pencerapan sering kali menipu kita. Lalu mereka dikenal sebagai ilusi atau kekeliruan dari pencerapan ( sanna vipallasa ). Hal ini selalu terjadi pada saat kita gagal melihat sifat yang sejati dari sesuatu, maka pandangan kita menjadi tertutup ; akibat pikiran kita yang sebelumnya, kemelekatan kita dan kebencian, kesukaan dan ketidaksukaan kita ( anurodha, virodha ), 11
kita gagal melihat organ indra dan objek indra masing – masing menurut sifatnya yang objektif dan mengejar bayangan dan tipuan. Organ indra menipu dan menyesatkan kita dan ketika kita gagal melihat sesuatu menurut pandangan yang benar, dalam perspektif sebenarnya, maka jalan kita mengenali sesuatu menjadi tersesat ( viparita dassana ). Pengertian benar dengan sendirinya menyingkirkan ilusi ini dan menolong manusia untuk mengenali sifat sebenarnya yang mendasari segala apa yang kelihatan. Hanya pada saat manusia keluar dari kegelapan ilusi dan kesesatan inilah ia bersinar dengan kebijaksanaan yang sebenarnya seperti bulan purnama yang keluar dengan cemerlang dari balik awan hitam.
Ketika pencerapan yang khusus, menyesatkan atau tidak, sering kali terjadi, ia tumbuh lebih kuat dan menguasai pikiran kita. Kemudian menjadi sulitlah untuk melenyapkan pencerapan itu, dan akibatnya dijelaskan dengan baik dalam syair dari Sutta Nipata ( ayat 847 ) ini :
“ Yang telah bebas dari pencerapan indra
Tak ada lagi belenggu dalam dirinya ;
Yang telah terbebas lewat kebijaksanaan
Seluruh pandangan salah lenyap dalam dirinya ;
Tapi yang terikat pada pencerapan indra
Pada pandangan salah dan palsu
Ia hidup dalam perselisihan di dunia ini “.
Tak ada lagi belenggu dalam dirinya ;
Yang telah terbebas lewat kebijaksanaan
Seluruh pandangan salah lenyap dalam dirinya ;
Tapi yang terikat pada pencerapan indra
Pada pandangan salah dan palsu
Ia hidup dalam perselisihan di dunia ini “.
Pencerapan diikuti oleh agregat bentuk – bentuk pikiran ( karma ) ( sankharakkhandha ). Baik untuk diingat bahwa bentuk – bentuk pikiran atau karma adalah istilah populer untuk kata sankhara dalam daftar kelima agregat. Dalam konteks lain sankhara berarti sesuatu yang terkondisi dan berupa gabungan. Dalam pernyataan “ sabbe sankhara anicca “ atau “ anicca vata sankhara “ ( segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur adalah tidak kekal ), istilah sankhara dipergunakan untuk segala sesuatu yang terkondisi dan berupa gabungan, contohnya, apa saja yang terjadi pada manusia sebagai akibat dari sebab – sebab dan kondisi, dan apa yang dilakukan mereka sebagai sebab dan kondisi pada gilirannya menghasilkan akibat yang lain.
Dalam kelompok bentuk – bentuk pikiran ini ( sankhara ) termasuk seluruh corak batin kecuali perasaan ( vedana ) dan pencerapan ( sanna ) yang telah disebutkan sebelumnya. Kitab Abhidhamma membicarakan 52 bentuk atau corak batin ( cetasika ). Perasaan dan pencerapan adalah dua diantaranya, tetapi mereka bukanlah bentuk – bentuk karma. Sisanya yang 50 dikenal secara kolektif sebagai sankhara, bentuk – bentuk pikiran atau karma. Karma memainkan peranan penting dalam dunia mental, dan kita akan membicarakan hal ini pada saat berhadapan dengan psikologi karma.
Agregat kesadaran ( vinnanakkhandha ) adalah yang paling penting dari kelima agregat yang membentuk manusia. Lalu apakah fungsi kesadaran itu ? Seperti perasaan, pencerapan dan bentuk – bentuk karma, kesadaran terdiri dari enam macam dan fungsinya beragam. Ia memiliki dasar dan objeknya.
Seluruh perasaan kita dialami melalui kontak alat indra dengan dunia luar. Indra pikiran yang mengenali objek – objek mental bukanlah sesuatu yang nyata dan tampak jelas seperti lima indra lain yang mengenali dunia luar. Mata mengenali dunia warna – warni ( vanna ) atau objek – objek yang dapat dilihat, telinga mendengar suara, demikian pula dengan empat indra yang lain. Bagaimanapun, pikiran mengenali dunia gagasan dan pemikiran. Ketika tiba di dunia pikiran dan gagasan, indra pikiran menguasai dunia mental. Penglihatan tak dapat berpikir dan mengumpulkan gagasan tetapi merupakan alat untuk melihat bentuk – bentuk yang dapat dilihat dunia warna – warni.
Sangatlah penting untuk memahami fungsi kesadaran. Walaupun ada hubungan fungsional antara indra dan objeknya, misalnya mata dengan bentuk, telinga dengan suara, dan demikian pula dengan yang lainnya, pengetahuan muncul melalui kesadaran. Dengan kata lain, objek – objek indra tidak dapat dirasakan dengan kepekaan khusus tanpa jenis kesadaran yang sesuai. Ketika ketiga hal : mata, bentuk dan kesadaran penglihatan hadir bersamaan, kejadian inilah yang disebut kontak. Dari kontak muncullah perasaan dan seterusnya seperti yang dijelaskan dalam sebab musabab yang saling bergantungan atau kejadian terkondisi ( paticca samuppada ).
Ketika dikatakan bahwa kesadaran muncul melalui pengaruh timbal balik antara orga indra dan objeknya ( indriya dan arammana ), ini tidak berarti bahwa kesadaran adalah sesuatu yang diciptakan oleh organ indra dan objek yang berbentuk fisik semata – mata. Kalau tidak, kita akan menganut teori aliran materialitis yang percaya bahwa kesadaran dihasilkan oleh materi semata – mata. Fungsi vinnana, kesadaran adalah menjadi sadar akan objek ( vijanana ). Mata manusia mungkin berhubungan dengan objek yang dapat dilihat, tetapi tanpa kesadaran kita tidaklah sadar akan objek itu. Kesadaran juga terkondisi dan merupakan subjek perubahan, maka ia bukanlah roh atau jiwa yang dibedakan dari tubuh, ataupun sebuah proyeksi turunan dari tubuh.
Konsep vinnana menempati tempat yang tinggi dalam ajaran Buddha, tetapi ia tidak dipelajari atau dipahami banyak orang dalam keseluruhan aspeknya ; ia yang paling sedikit dipahami. Bagi kebanyakan orang, vinnana hanya merupakan satu dari lima agregat yang menyadari objek indra. Artinya yang lebih dalam, aspek lebih luas yang terkait, diabaikan. Ketika kita membicarakan konsep vinnana dalam hubungannya dengan ajaran kelangsungan atau proses kelahiran kembali dari makhluk hidup, menjadi jelaslah bahwa kesadaran memainkan peranan penting dalam proses tumimbal lahir ( punabbhava ).
Kenyataan ini ditujukan dengan jelas dalam pattica samuppada : sankhara paccaya vinnanam, bergantung pada karma atau perbuatan baik dan jahat ( sankhara ) di kelahiran yang lalu terkondisi kesadaran di kelahiran sekarang. Karena itulah, kesadaran adalah faktor pertama ( nidana ) atau mata rantai pertama dalam kehidupan sekarang. Sebagai kesadaran atau vinnana yang merupakan arus pertama dari kesadaran ( vinnana sota ) yang dimiliki satu kehidupan ( bhava ), ia juga dikenal sebagai patisandhi vinnana, kesadaran yang menyambung kembali kehidupan. Sankhara berarti karma, perbuatan baik dan jahat, semua perbuatan dengan tubuh, ucapan dan pikiran ( kaya sankhara, vaci sankhara, citta sankhara ) yang menghasilkan akibat yang menimbulkan kelahiran kembali. Demikianlah sankhara menentukan bagian kesadaran di kehidupan selanjutnya yang mempengaruhi personalitas baru.
Apa yang kita sebut hidup disini adalah fungsi dari lima agregat yang telah kita bicarakan, atau fungsi batin dan jasmani ( nama rupa ) yang hanya berupa energi atau kekuatan. Mereka tidak pernah serupa untuk dua momen yang berurutan dan dalam perubahan batin dan jasmani ini kita tidak melihat apa pun yang permanen. Manusia dewasa bukan seorang anak, bukan pula orang yang sungguh berbeda ; hanya ada satu hubungan kesinambungan. Perubahan batin dan jasmani atau energi mental dan tubuh tidak lenyap oleh kematian, karena tak ada energi ataupun kekuatan yang pernah lenyap. Ia terus mengalami perubahan. Ia tersusun lagi, terbentuk kembali dalam keadaan yang baru. Ini disebut kelahiran kembali, kehidupan kembali, atau penjelmaan kembali ( punabbhava ). Proses karma ( kammabhava ) adalah energi dari kehidupan sekarang yang mempengaruhi kehidupan selanjutnya berturut – turut tanpa akhir. Dalam proses ini tak ada yang berlalu atau berpindah dari satu kehidupan ke kekhidupan lainnya. Ia hanyalah gerakan yang berkesinambungan tanpa putus. “ Makhluk “ yang meninggal dunia di kehidupan ini dan dilahirkan di tempat lain bukan orang yang sama, bukan pula orang yang sama sekali berbeda ( na ca so na ca anno ). 12
Ada momen terakhir dari kesadaran ( cuti vinnana atau cuti citta ) yang termasuk dalam kehidupan sebelumnya ; dengan seketika berlanjut, terkondisi dengan lenyapnya kesadaran itu, muncullah momen pertama dari kesadaran di kelahiran sekarang yang disebut kesadaran yang menyambung kembali kehidupan ( patisandhi vinnana ), gerakan pertama dari kehidupan batin manusia yang baru muncul. Sama halnya momen pikiran terakhir di kehidupan ini mengkondisikan momen pikiran pertama di kehidupan selanjutnya. Dengan cara ini kesadaran muncul dalam diri manusia dan lenyap memberi tempat pada kesadaran yang baru. Demikianlah arus yang terus menerus dari kesadaran ( vinnana sota ) berlanjut sampai kehidupan berakhir melalui pemusnahan akar penyebab yang menimbulkan penjelmaan atau kehidupan ( bhava ). Akar penyebabnya adalah : hawa nafsu, kebencian dan kegelapan batin ( raga, dosa, moha ). Agaknya kehidupan adalah kesadaran, keinginan untuk hidup.
Kata Pali patisandhi vinnana adalah istilah yang hanya ditemukan dalam kitab abhidhamma dan catatan rinci istilah ini ditemukan dalam kitab – kitab tafsir dan risalat mengenai abhidhamma. Patisandhi secara harfiah berarti menyambung kembali, membentuk kembali, menggabung kembali. Ia disebut membentuk kembali, melaluinyalah terjadi apa yang menyambung satu kehidupan ke kehidupan yang lain, berturut – turut.13
Menarik untuk dicatat bahwa padanan istilah abhidhamma “ patisandhi vannana “ ditemukan dalam Sutta Pitaka. Dalam Anenjasappaya Sutta ( 106 ) dari Majjima Nikaya, Vipaka vinnana ini disebut sebagai samvattanikam vinnanam, kesadaran yang terus menerus, yang berantai, yang beralih dari satu kehidupan ke kehidupan lain sebagai vipaka, kesadaran yang berkembang dalam kehidupan selanjutnya. Tetapi catatlah bahwa kesadaran ini bukan merupakan suatu kesatuan yang tak berubah. Dengan adanya kesadaran muncullah batin dan jasmani ( nama rupa ), pribadi dengan jiwa dan tubuh fisik. Kesadaran, dipihak lain, dipengaruhi oleh batin dan jasmani ( nama rupa paccaya vinnanam, vinnana paccaya nama rupam ).14
Mereka saling bergantung sama lain dan keduanya bersama – sama membentuk suatu makhluk hidup baru. Dalam Maha Nidana Sutta dari Digha Nikaya, Buddha mengajukan pertanyaan dalam suatu diskusi dengan siswa yang menjadi pembantuNya, Thera Ananda, yaitu apakah nama rupa akan berkembang dan tumbuh menjadi matang jika vinnana tidak hadir dalam kandungan ibu ( matukucchimhi na okkamissatha ), atau makhluk yang telah memasuki kandungan ibu lalu meninggalkannya ( okkamitva vokkamissatha ). Thera Ananda menjawab tidak. “ Bhagawa, janin itu tidak akan tumbuh berkembang “ jawaban itu disetujui oleh Buddha.
Seperti yang ditunjukkan Mahatanhasankhaya Sutta dalam Majjhima Nikaya, pembuahan ( gabbhassa avakkanti ) dari suatu makhluk terjadi karena menyatunya tiga faktor. Jika ayah dan ibu bersama – sama ( harus ada hubungan badan dari orang tua ), dan itu di saat masa subur sang ibu ( si ibu harus subur ), dan gandhabba juga hadir ( paccupatthito hoti ), maka sel kehidupan ditanamkan.
Faktor ketiga, gandhabba, adalah suatu istilah gampangnya untuk vinnana atau patisandhi vinnana atau samvattanika vinnana, kesadaran kelahiran kembali. Menurut Acariya Buddhaghosa, seorang ahli tafsir, gandhabba berarti makhluk yang akan memasuki kandungan ( paccupatthito hoti ). Yang dimaksud adalah satta, makhluk yang akan dilahirkan dalam keadaan itu, didorong oleh mekanisme karma. Haruslah dipahami dengan jelas bahwa gandhabba ini bukan berupa “ setengah dewa yang memimpin pembuahan seorang anak “ 15 ataupun suatu “ roh tanpa tubuh “ seperti yang dinyatakan oleh Weda sebagai gandharva. Vinnana dikondisikan oleh sankhara atau bentuk – bentuk karma, yang menghasilkan kelahiran kembali dari suatu individu setelah kematiannya.
Kesadaran, yang berupa unsur batin yang menentukan kelahiran kembali suatu individu atau makhluk, bukanlah sesuatu yang permanen dalam bentuk diri atau roh ataupun satuan ego. Bahkan kesadaran pun terkondisi dan merupakan subjek yang berubah. Ada banyak orang di zaman Buddha yang berpikir, dan ada banyak orang yang terus berpikir, bahwa kesadaran itu dalam bentuk yang permanen, diri atau jiwa yang kekal, yang ada dalam diri manusia, berlanjut melalui kehidupan, dan pada saat kematian pindah dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, dan mengikat kehidupan menjadi satu. Di zaman Buddha beberapa penganut metafisika berpandangan : “ Apupun yang ada disebut sebagai citta atau mano atau vinnana itulah jiwa, permanen, konstan, kekal, tak berubah “.16
Kita juga melihat contoh yang jelas mengenai hal ini dalam bab ke 38 dari Majjhima Nikaya. Salah seorang pengikut Buddha sendiri, Sati namanya, menganut pandangan berikut : “ Sejauh pemahamanku mengenai Dharma yang diajarkan oleh Buddha, kesadaran yang sama, vinnana yang berjalan dan berlanjut ( sandhavati samsarati ) yang berpindah dan berkelana ( dalam kelahiran kembali ) “. Ketika Sati mengemukakan pandangannya kepada Buddha, Beliau bertanya kepadanya : “ Apakah kesadaran itu, Sati ? “ Itu adalah yang mengungkapkan, yang merasakan dan mengalami ( vado vedeyo ) hasil dari perbuatan baik dan jahat pada masa kini dan masa depan “. Bagaimanapun juga, Buddha melenyapkan kepercayaannya yang salah dengan menjelaskan kepadanya, bahwa di luar dari kondisi tak ada kemunculan kesadaran, bahwa kesadaran timbul tergantung pada kondisi.
Sati keliru ketika ia mengatakan bahwa kesadaran yang sama berlanjut seperti sosok yang berbicara dan yang mengalami sehingga menganggap kesadaran adalah suatu pribadi di belakang seluruh aktivitas batin. ( untuk lebih jelas lihat keterangan sebelumnya ).
Kesadaran ini yang dimaksudkan sebagai aliran kesadaran ( vinnana sotta ) 17 bukanlah suatu kesatuan yang kekal tak berubah dan berlanjut dalam keadaan yang sama tanpa kematian melalui lingkaran kehidupan. Kesadaran juga terkondisi dan karena itulah tidak permanen. Ia tidak berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain, seperti yang dipikirkan oleh Sati.
Seorang psikolog Amerika yang terkenal, Willim James, hanya menggaungkan kata – kata Buddha ketika ia menulis mengenai kesadaran : “ Tak ada yang bergabung. Ia mengalir. Sebuah “ sungai “ atau “ aliran “ adalah metafora yang paling alami untuk menggambarkannya … Marilah kita menyebutnya aliran pikiran, aliran kesadaran atau aliran kehidupan yang subjektif “.18 ( huruf miring sesuai dengan tulisannya ).
Perlu diterangkan secara singkat mengenai aspek bhavanga dari psikologi Buddhis. Bhavanga citta atau bhavanga sota memainkan peranan penting dalam kehidupan batin manusia.
Ilmu jiwa modern merumuskan tiga tingkatan pikiran : sadar, bawah sadar, tidak sadar. Tingkatan sadar adalah salah satu bentuk kesadaran. Selama kehidupan kita pikiran sadar bekerja melalui lima saluran yang dikenal sebagai lima alat indra.
Lapisan bawah sadar dari pikiran adalah daerah yang menyimpan ingatan yang dapat kita ingat kembali menurut keinginan. Dikatakan bahwa tingkatan bawah sadar dari kehidupan mental yang serta merta mengendap di balik sadar merupakan gudang ingatan yang dapat dimunculkan kembali dalam kesadaran berdasar keinginan. Tingkatan tidak sadar adalah sebuah gudang bagi seluruh pengalaman masa lampau yang tidak dapat diingat kembali menurut keinginan, tetapi pada saatnya dengan kemauannya sendiri, dapat menjelma di tingkat kesadaran tanpa rangsangan luar apa pun atau melalui suatu metode khusus seperti hipnotis.
Sigmund Freud, yang sangat menaruh perhatian pada pikiran tak sadar sebagai gudang bagi pikiran yang menyebabkan gangguan jiwa dalam Psychopathology of Everyday Life, memberikan banyak sekali contoh mengenai fakta dari perbuatan tak sadar. Walaupun beberapa pakar Buddhis memperkenalkan bhavanga citta sebagai pikiran bawah sadar dan tidak sadar, keduanya tidaklah betul – betul parallel. Tidak ada level kesadaran semacam itu dalam psikologi Buddhis. Abhidhamma membicarakan dua jenis pikiran vithi citta dan bhavanga citta. Vithi citta adalah proses pikiran yang selalu muncul pada tingkatan sadar, yaitu selama terjaga. Ia bekerja melalui lima alat indra. Bhavanga citta berjalan selama terjaga sama seperti dalam keadaan tidur lelap tanpa mimpi dan karena itulah dapat dikatakan bahwa ia berfungsi di tingkat bawah sadar. Ia dapat juga disebut proses mental bawah sadar atau tidak sadar tetapi tidak sama dengan seluruh jangkauan konsep Barat mengenai pikiran bawah sadar dan tidak sadar. Ia tidak mencakup seluruh wilayah konsep Barat mengenai pikiran bawah sadar dan tidak sadar.
Bhavanga yang terbentuk dari kata “ bhava “ ( penjelmaan atau keberadaan ) dan “ anga “ ( penyebab atau instrumen, ketimbang faktor ), adalah sebuah kondisi yang penting bagi penerusan kehidupan. “ Life Continuum “ adalah padanannya yang terdekat dalam bahasa Inggris untuk kata Pali bhavanga, dengan alasan karena eksistensi bhavanga citta aliran kesadaran tetap berjalan tanpa terputus.
Jika kelahiran kita yang sekarang ini adalah permulaan dan kematian kita adalah akhir dari kehidupan ini, tidak perlu cemas atau mencoba untuk memahami masalah dukkha dari sudut pandang kejiwaan, ketidakpuasan dari seluruh bentuk kehidupan empiris. Tertib moral di dunia, kenyataan benar dan salah mungkin tidak memiliki arti yang praktis bagi kita. Menikmati dan memuaskan indra – indra bagaimanapun juga tampaknya merupakan hal yang masuk akal untuk dilakukan sepanjang masa kehidupan yang singkat ini. Tentu saja pandangan ini tidak menjelaskan ketidaksamaan manusia. Pikiran yang menginginkan jawaban akan selalu berusaha untuk mencari penyebab ketidaksamaan ini.
Ada dua pokok ajaran dari Buddha yang harus dipelajari melalui sudut pandang psikologi, yaitu karma dan kelahiran kembali. Karma adalah hukum yang mendatangkan akibat moral yang membentuk nasib manusia dan menimbulkan kelahiran kembali. Pada dasarnya karma berupa kehendak ( cetana ). Perbuatan didorong oleh keinginan. Buddha berkata : “ Para Bhikkhu, aku nyatakan kehendak itulah karma, setelah berkehendak manusia melakukan perbuatan melalui tindakan, ucapan dan pikiran “.19Karma, yang berupa kehendak adalah unsur penentu dalam seluruh perbuatan kita, baik atau jahat. Karma adalah perbuatan atau benihnya. Hasilnya, akibat atau buahnya dikenal sebagai kamma vipaka. Kehendak dapat baik atau jahat, maka perbuatan pun sesuai dengan hasilnya dapat baik atau jahat. Pergiliran yang tanpa akhir dari aksi dan reaksi, sebab dan akibat, benih dan buah ini berlanjut dalam gerakan yang terus menerus dan inilah penjelmaan ( bhava ) proses dari fenomena batin dan jasmani dalam kehidupan yang terus berubah sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya.
Manusia berbuat melalui tindakan, ucapan dan pikiran ; aksi menimbulkan reaksi. Keinginan ( tanha ), kehausan kita yang merupakan unsur pikiran menimbulkan perbuatan, perbuatan menghasilkan hasil perbuatan ; hasil perbuatan pada gilirannya menimbulkan hasrat baru, keinginan dan kehausan baru. Proses sebab dan akibat, aksi dan reaksi, adalah hukum alam. Ini adalah hukum dalam dirinya sendiri tanpa memerlukan seorang pemberi hukuman. Sesuatu dari luar yang memberi pahala dan menghukum atas perbuatan baik dan jahat manusia tidak memiliki tempat dalam pemikiran Buddhis. Manusia selalu berubah, menjadi baik ataupun jahat. Perubahan ini tak dapat dihindari dan seluruhnya tergantung pada keinginan dan perbuatannya sendiri. Ini hanyalah merupakan hukum alam yang universal dari kekuatan yang kekal yang diperluas pada bidang moral.
Hal ini dapat diamati dari sudut pandang psikologi, bahwa Buddhisme tidak mendukung gagasan mengenai pengampunan dosa, karena itu tidak akan menghasilkan kebaikan bagi seseorang atau yang lain. Menurut agama Buddha perbuatan yang salah tidak dianggap sebagai suatu “ dosa “, karena kata itu adalah asing dalam ajaran Buddha. Tak ada ungkapan seperti “ melanggar hukum Buddha “ karena Beliau bukanlah pemberi hukuman, seorang hakim ataupun raja yang menghukum perbuatan jahat dan memberi hadiah bagi perbuatan baik manusia. Pelaku kejahatan bertanggung jawab pada perbuatannya sendiri ; ia menderita ataupun menikmati konsekuensi dari perbuatannya dan melakukan kebaikan ataupun kejahatan itu adalah urusannya sendiri. Harus pula disebutkan bahwa semua perbuatan, baik atau jahat, tidak selalu akan masak. Karena baik seseorang mungkin saja menekan karma buruknya dan sebaliknya.
Kita juga harus memahami ajaran Buddhis mengenai karma bukan merupakan fatalisme, bukan sebuah ajaran filosofi yang mengakibatkan manusia tidak bebas berbuat, melainkan terpaksa ditentukan oleh motif yang dianggap merupakan kekuatan luar bertindak memenuhi kehendak, atau apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan. Buddha tidak menganut teori yang menyatakan bahwa semua makhluk ditetapkan tak dapat diubah ( ditakdirkan ), bahwa segala sesuatu terjadi oleh keharusan yang tak terhindari yang merupakan determinisme kaku ( niyati vada ). Beliau tidak pula menegakkan teori indeterminisme mutlak ( adicca samuppana ).
Menurut agama Buddha tak ada kehidupan setelah mati ataupun kehidupan sebelumnya yang tidak bergantung pada karma ataupun perbuatan – perbuatan yang disertai niat. Karma adalah akibat wajar dari kelahiran kembali ; sebaliknya, kelahiran kembali adalah akibat wajar dari karma. Kelahiran mendahului kematian dan kematian juga mendahului kelahiran, dengan demikian kedua pasangan ini saling menyertai satu sama lain dalam rangkaian yang tak terputus.
Bagi para ilmuwan tubuh adalah energi dalam keadaan stres, berubah tanpa substansi yang nyata. Bagi para psikolog “ jiwa “ hanya berupa suatu entitas. Kehidupan individu juga merupakan rangkaian dari perubahan sesuatu yang menjadi manusia dan meninggal dunia tidak tetap sama untuk dua momen yang berurutan. Perubahan yang berkesinambungan ini, proses batin dan jasmani yang nyata dalam kehidupan kita ini, tidak berakhir dengan kematian. Perubahan pikiran berlanjut tanpa putus. Perubahan pikiran yang dinamislah yang diterjemahkan sebagai kekuatan karma. Kekuatan besar ini, keinginan untuk hidup, mempertahankan kelangsungan kehidupan. Demikianlah aliran kesadaran yang terus menerus ( vinnana sota ) ini berlanjut tanpa akhir selama berbagai bentuk kehausan ( tanha ) menyertai ketidaktahuan ( avijja ), kesesatan yang dibenarkan karena segala kegilaan kita, menggerakkannya.
Manusia dalam kehausannya yang kuat akan pemilikan ataupun kepuasan nafsu, menjadi terbelenggu pada roda kehidupan, berputar dan terkoyak di antara jari – jari roda penderitaan dan sudah pasti menutup pintu kebebasan akhir.
Musuh seluruh dunia adalah hawa nafsu, melaluinyalah semua kejahatan memasuki diri manusia. Ia bukan hanya berupa keserakahan dan kemelekatan pada kenikmatan yang disebabkan oleh indra – indra, kekayaan dan pemilikan dan keinginan untuk mengalahkan orang lain serta menaklukkan negara – negara lain, melainkan juga kemelekatan pada cita – cita, pandangan, pendapat dan kepercayaan ( dhamma tanha ) yang sering membawa bencana dan pengrusakan dan menimbulkan penderitaan yang tak terkatakan bagi seluruh bangsa dalam kenyataannya seluruh dunia. Tanha, keinginan manusia, ada tiga jenis dan pikiran didorong untuk bertindak di bawah pengaruh ketiga jenis tanha ini. Kapan saja keinginan dihubungkan dengan kesenangan indra ia disebut kehausan akan kesenangan indra ( kama tanha ). Ketika ia dihubungkan dengan kepercayaan pada kekebalan kehidupan personal, maka ia disebut keinginan akan penjelmaan ( bhava tanha ). Ini adalah keinginan penerusan, untuk hidup selamanya, mempertahankan diri ( jivitu kama ). Ketika keinginan dihubungkan dengan kepercayaan akan pemusnahan diri ia disebut keinginan akan pemusnahan, pengrusakan ( vibhava tanha ). Ketiga jenis tanha atau keinginan dapat dibandingkan dengan konsep para penganut Freud tentang eros, libido dan thanatos.
Menurut agama Buddha ada banyak kotoran batin ( kilesa ), tetapi akar penyebab seluruh kejahatan adalah : hawa nafsu atau keinginan yang rendah ; kebencian atau niat jahat ; kebodohan atau kegelapan batin ( lobha, dosa, moha ). Mereka adalah tenaga penggerak yang mendorong seseorang berbuat. Perbuatan yang dilakukan dengan kotoran batin ini menimbulkan kehidupan yang berulang – ulang, karena itu dikatakan “ tanpa melenyapkan hawa nafsu, kebencian dan kebodohan seseorang tidak akan terbebas dari kelahiran “.20
Pada saat orang benar – benar melenyapkan ketiganya, ia terbebas dari belenggu samsara, kehidupan yang berulang – ulang. Ia terbebas dari seluruh nafsu duniawi. Ia tidak lagi memiliki sifat apa pun yang akan menyebabkannya dilahirkan kembali sebagai makhluk hidup, karena ia telah merealisasikan Nirwana, berakhirnya seluruh penjelmaan ( bhava nirodha ) ; di luar perbuatan biasa atau duniawi, dan ia telah meningkatkan dirinya ke tempat supra duniawi pada saat masih hidup di dunia ; perbuatannya tidak lagi menghasilkan, tidak berakibat karma ; karena tidak didorong oleh ketiga kotoran batin. Ia terbebas dari semua kejahatan, bebas dari seluruh kotoran batin. Dalam dirinya tak ada pendorong yang mendasari kecenderungan ( anusaya ) ; ia telah menyelesaikan kedua perbuatan baik dan jahat ( punna papa pahina ),21
ia tidak cemas dengan masa lampau, masa depan atau bahkan masa sekarang. Ia tidak terikat pada apa pun di dunia, dan dengan demikian tidaklah mengalami kesulitan. Ia tidak terganggu oleh perubahan kehidupan. Pikirannya tak tergerak oleh kontak dengan kemungkinan – kemungkinan duniawi ; ia tidak bersedih, tidak ternoda dan aman ( asokam, virajam, khemam ).22
Demikianlah Nirwana merupakan “ keadaan “ yang dapat disadari dalam kehidupan ini ( dittha dhamma nibbana ). Si pemikir, pikiran yang bertanya – tanya, tak akan menemukan kesukaran untuk memahami keadaan ini yang hanya dapat dirumuskan oleh Arahat dan tidak oleh manusia lain baik di dunia ini maupun di alam kebahagiaan surgawi.
Seperti yang telah ditunjukkan dengan jelas oleh Buddha : “ Jika ada kejahatan, berhubungan dengan kejahatan, termasuk dalam kejahatan, seluruhnya dihasilkan dari pikiran ( secara harfiah, pikiran mendahului semuanya : mano pubbangama ) “. “ Jika ada kebaikan, berhubungan dengan kebaikan, termasuk dalam kebaikan, seluruhnya dihasilkan dari pikiran “.23
Karena itulah manusia perlu meneliti pikirannya sendiri secara cermat dengan maksud memahami bagaimana cara kerja pikiran manusia, bagaimana pikiran muncul dan berlalu. Seperti kata Sigmund Freud : “ Perubahan psikologis hanya terjadi dengan sangat perlahan. Jika mereka muncul dengan cepat dan tiba – tiba itu adalah pertanda buruk “. Dengan memahami pikiran baik sebagai kebaikan dan keburukan sebagai kejahatan, suatu usaha harus dilakukan untuk mencegah munculnya kejahatan dan pikiran jahat yang belum muncul ; untuk melenyapkan pikiran jahat yang telah muncul ; untuk menghasilkan dan mengembangkan pikiran baik yang belum muncul ; dan untuk mempertahankan pikiran baik yang telah muncul. Inilah fungsi dari daya upaya benar ( samma vayama ), satu perbuatan dalam pikiran : mencegah, melenyapkan, mengembangkan dan memelihara ( samvara, pahana, bhavana, anurakkhana ).24
Demikianlah dalam agama Buddha bahkan etika dipelajari dari sudut pandang psikologis. Tekanan pada daya upaya benar ini oleh Buddha dijelaskan dalam bahasa yang tak mungkin salah yang membuat agama Buddha bukan merupakan suatu filosofi pesimisme, ajaran bagi mereka yang lemah pikirannya, yang melihat sesuatu dari sudut pandang yang sangat tidak menguntungkan, melainkan suatu ajaran yang merupakan agama bagi pejuang sejati.
Sangatlah berat untuk menghentikan apa pun yang memikat, dan mencengkeram kita, dan sangatlah berat untuk mengusir semangat jahat yang menghantui batin manusia dalam bentuk pikiran yang tak baik. Kejahatan adalah penjelmaan dari hawa nafsu, kebencian dan kebodohan yang telah dibicarakan sebelumnya. Sebelum orang mencapai puncak kemurnian melalui pelatihan pikiran yang terus menerus, ia tidak dapat mengalahkan hal – hal buruk ini sepenuhnya. Hanya meninggalkan benda – benda duniawi, berpuasa dan sebagainya tidak akan menyucikan manusia ; hal – hal ini tidak membuat seorang manusia suci dan aman. Penyiksaan diri adalah sebuah ekstrem yang dinyatakan oleh Buddha pada saat Dharma pertama kali dibabarkan, merupakan hal yang tidak dibenarkan. Beliau juga menolak nafsu indrawi, yang disebutnya tercela. Dengan menghindari kedua ekstrem ini Buddha mengungkapkan Jalan Tengah kepada dunia, jalan kuno yang bila diusahakan sepenuhnya menaikkan manusia dari tingkat kehidupan batin yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi ; menuntunnya dari kegelapan menuju terang, dari gejolak nafsu menuju ketenangan ; dari kekacauan menuju kedamaian, dan terakhir mencapai kebahagiaan tertinggi Nirwana.
CATATAN :
1. The Foundation of Mindfulness, diterjemahkan oleh Nyanasatta ( Kandy : BPS ), Wheel 19 ; juga lihat V.F. Gunaratna, The Satipatthana Sutta and Its Application to Modern Life ( Kandy : BPS ), Wheel 60.
2. Soma Thera, The Removal of Distracting Thougts ( Kandy : BPS ), Wheel 21.
3. Dhp. 276.
4. A. ii, 177.
5. M. 22 / I, 140.
6. Vin. i, 16 ; M. i, 380 ; D. i, 110 ; A. iv, 186.
7. S. iii, 158.
8. S. ii, 94.
9. James Drever, A Dictionary of Psychology, ( London : Penguin Books, 1952 ).
10. Dictionary of Philosophy, Dagobert D. Runes, ed. ( New Jersey : Littlefield, Adams & Co., U.S.A. 1963 ).
11. M. i, 266.
12. Miln. P.T.S. h. 40.
13. Lihat Vibhavini Tika.
14. S. ii, 104.
15. Pali – English Dictionary, P.T.S., di bawah gandhabba.
16. D. 1 / I, 21.
17. D. iii, 105 ; bandingkan Sn. 1055. Juga “ stream of becoming “ ( bhava sota) ; S. iv, 291.
18. Psychology Briefer Course, lihat bab mengenai “ The Stream of Consciusness “.
19. A. iii, 415.
20. A. v, 144.
21. Dhp. 39.
22. Sn. 270.
23. A. i, 11.
24. A. ii, 15 – 16.
2. Soma Thera, The Removal of Distracting Thougts ( Kandy : BPS ), Wheel 21.
3. Dhp. 276.
4. A. ii, 177.
5. M. 22 / I, 140.
6. Vin. i, 16 ; M. i, 380 ; D. i, 110 ; A. iv, 186.
7. S. iii, 158.
8. S. ii, 94.
9. James Drever, A Dictionary of Psychology, ( London : Penguin Books, 1952 ).
10. Dictionary of Philosophy, Dagobert D. Runes, ed. ( New Jersey : Littlefield, Adams & Co., U.S.A. 1963 ).
11. M. i, 266.
12. Miln. P.T.S. h. 40.
13. Lihat Vibhavini Tika.
14. S. ii, 104.
15. Pali – English Dictionary, P.T.S., di bawah gandhabba.
16. D. 1 / I, 21.
17. D. iii, 105 ; bandingkan Sn. 1055. Juga “ stream of becoming “ ( bhava sota) ; S. iv, 291.
18. Psychology Briefer Course, lihat bab mengenai “ The Stream of Consciusness “.
19. A. iii, 415.
20. A. v, 144.
21. Dhp. 39.
22. Sn. 270.
23. A. i, 11.
24. A. ii, 15 – 16.
Sumber : Spektrum Ajaran Buddha
Kumpulan Tulisan Mahathera Piyadassi
Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna
Jakarta, 2003
http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/aspek-psikologi-agama-buddha/#more-106