Bagaimana konsep ketuhanan dalam Buddhisme?
Jawabannya :
Jawab:
. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha?
Mari kita lihat dulu definisi Tuhan.
Ada 3 definisi umum mengenai Tuhan:
. Tuhan Personal
• Tuhan diwujudkan sebagai makhluk adi kuasa.
• Tuhan menciptakan manusia.
• Manusia bergantung sepenuhnya kepada Tuhan.
• Relasi Tuhan dengan manusia melalui doa.
• Manusia mengikuti kehendak Tuhan.
• Termasuk kategori ini: agama Islam, Kristen, Yahudi.
2. Tuhan Semi Personal
• Alam semesta merupakan simbol Tuhan, yang seolah-olah
dapat merasa dan memiliki sifat-sifat seperti manusia.
• Para Dewa dan Para Nabi (orang suci) sudah bersatu dan
selaras dengan alam semesta, sehingga kita patut memuja dan
menghormatinya.
• Relasi Tuhan dengan manusia melalui ritual keagamaan.
• Termasuk kategori ini: agama Hindu, Tao, Khonghucu,
penganut-penganut kepercayaan, “Buddha” (tradisional).
3. Tuhan Impersonal
• Tuhan tidak dapat digambarkan / dipikirkan / dibayangkan,
dalam bentuk apapun.
• Tuhan tidak terkatakan.
• Tuhan bukan zat hidup yang dapat berpikir, berasa, berucap,mendengar atau mengindera.
• Tuhan sebagai tujuan tertinggi (kesempurnaan).
• Termasuk kategori ini: agama Buddha.
Untuk memahami konsep ketuhanan dalam agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat umum terdapat dua cara pendekatan yaitu: pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umat-Nya”, atau “Tuhan mendengar doa umat-Nya” serta masih banyak lainnya. Kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan mengutuk”, “Tuhan
mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah sejenis lainnya.
Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia.
Jadi, pengertian Tuhan dalam Agama Buddha adalah
“Yang tidak terlahirkan”,
“Yang tidak menjelma”,
“Yang tidak bersyarat”,
“Yang tidak berkondisi”.
“Yang tidak terpikirkan”,
serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya.
Secara singkat, Tuhan adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa dan bau durian kepada orang yang sama sekali belum pernah mengenal durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si
pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin bisa diceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar.
Setelah melihat bendanya, mencium aromanya dan mencicipi rasanya si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian. Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Buddha Dharma (Ajaran Buddha) mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Tuhan. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Tuhan dan ketuhanannya, orang perlu menjalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian/Perenungan Benar dan Konsentrasi Benar. Karena itu seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya dalam Agama Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko. Selain itu konsep ketuhanan bisa dilihat pada Kitab Udana VIII.
dijawab oleh : Romo Effendie,
aktivis sekaligus dosen agama Buddha di UGM.
. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha?
Mari kita lihat dulu definisi Tuhan.
Ada 3 definisi umum mengenai Tuhan:
. Tuhan Personal
• Tuhan diwujudkan sebagai makhluk adi kuasa.
• Tuhan menciptakan manusia.
• Manusia bergantung sepenuhnya kepada Tuhan.
• Relasi Tuhan dengan manusia melalui doa.
• Manusia mengikuti kehendak Tuhan.
• Termasuk kategori ini: agama Islam, Kristen, Yahudi.
2. Tuhan Semi Personal
• Alam semesta merupakan simbol Tuhan, yang seolah-olah
dapat merasa dan memiliki sifat-sifat seperti manusia.
• Para Dewa dan Para Nabi (orang suci) sudah bersatu dan
selaras dengan alam semesta, sehingga kita patut memuja dan
menghormatinya.
• Relasi Tuhan dengan manusia melalui ritual keagamaan.
• Termasuk kategori ini: agama Hindu, Tao, Khonghucu,
penganut-penganut kepercayaan, “Buddha” (tradisional).
3. Tuhan Impersonal
• Tuhan tidak dapat digambarkan / dipikirkan / dibayangkan,
dalam bentuk apapun.
• Tuhan tidak terkatakan.
• Tuhan bukan zat hidup yang dapat berpikir, berasa, berucap,mendengar atau mengindera.
• Tuhan sebagai tujuan tertinggi (kesempurnaan).
• Termasuk kategori ini: agama Buddha.
Untuk memahami konsep ketuhanan dalam agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat umum terdapat dua cara pendekatan yaitu: pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umat-Nya”, atau “Tuhan mendengar doa umat-Nya” serta masih banyak lainnya. Kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan mengutuk”, “Tuhan
mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah sejenis lainnya.
Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia.
Jadi, pengertian Tuhan dalam Agama Buddha adalah
“Yang tidak terlahirkan”,
“Yang tidak menjelma”,
“Yang tidak bersyarat”,
“Yang tidak berkondisi”.
“Yang tidak terpikirkan”,
serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya.
Secara singkat, Tuhan adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa dan bau durian kepada orang yang sama sekali belum pernah mengenal durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si
pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin bisa diceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar.
Setelah melihat bendanya, mencium aromanya dan mencicipi rasanya si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian. Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Buddha Dharma (Ajaran Buddha) mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Tuhan. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Tuhan dan ketuhanannya, orang perlu menjalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian/Perenungan Benar dan Konsentrasi Benar. Karena itu seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya dalam Agama Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko. Selain itu konsep ketuhanan bisa dilihat pada Kitab Udana VIII.
dijawab oleh : Romo Effendie,
aktivis sekaligus dosen agama Buddha di UGM.
https://dhammacitta.org/pustaka/ezine/eka-citta/eka-citta%2029.pdf |