Marah bukanlah respon
yang cerdas. Orang bijak selalu bahagia, dan orang bahagia tidak pernah marah.
Marah, terutamanya adalah tidak masuk akal.
Dalam rangka
mengungkapkan kemarahan Anda, pertama-tama anda harus mencari pembenaran bagi
diri Anda sendiri. Anda harus meyakinkan diri bahwa marah itu pantas, tepat,
benar. Di dalam proses batin yang marah, seolah-olah sedang terjadi sebuah
pengadilan dalam pikiran Anda.
Terdakwa berdiri
diatas panggung pengadilan dalam pikiran Anda, Anda adalah jaksa penuntutnya.
Anda tahu mereka bersalah, tetapi supaya adil, Anda harus menbuktikannya kepada
hakim, kepada hati nurani Anda terlebih dahulu. Anda lalu meluncur kedalam
rekontruksi "kejahatan" yang melawan anda.
Anda menuduhkan
segala jenis kedengkian, sifat bermuka dua, dan niat buruk di balik semua
perbuatan terdakwa. Anda mengungkit kembali semua kejahatan mereka pada masa
silam untuk meyakinkan hati nurani anda bahwa mereka tak pantas untuk
dikasihani.
Dalam pengadilan
nyata, terdakwa juga punya pengacara yang diizinkan untuk bersuara. Tetapi
dalam pengadilan bathin, Anda dalam sedang proses menbenarkan kemarahan Anda.
Jadi tidak ada pengacara untuk membela terdakwa. Dalam argumentasi yang berat
sebelah, Anda sudah menbangun kasus yang meyakinkan Dan itu sudah lumayan
bagus, Dan sudah pastinya Anda sebagai si Jaksa penuntut lah yang menang. Dan
HAKIM yang diwakili oleh Hati anda akan mengetok palu dan
memutuskan si
terdakwa B E R S A L A H. Dan sekarang barulah kita merasa tidak masalah atau
boleh saja kita marah kepada mereka.
Beberapa tahun yang
lampau inilah proses yang saya alami terjadi dalam pikiran saya bilamana saya
marah. Dan sekarang saya sadar itu tidaklah adil. JADI lain kali ketika saya
ingin marah kepada seseorang, saya diam sejenak untuk menbiarkan
"pengacara" pembela terdakwa menyatakan pembelaannya. Saya
merenungkan alasan-alasan dan penjelasan masuk akal tentang perilaku terdakwa.
Saya mementingkan indahnya pemberian maaf. Sungguh malangnya orang yang masih
diliputi oleh kebodohan tersebut. Saya menemukan bahwa suara hati tidak lagi
menbolehkan adanya putusan bersalah. jadilah tidak mungkin untuk menghakimi
perilaku orang lain.
Kemarahan, karena tak dicari pembenarannya, akhirnya kelaparan dan mati.
Sumber :
dapatkan buku ini di toko toko buku terdekat