Bagian dari pekerjaan
saya adalah mendengarkan masalah-masalah umat. Para Biksu selalu punya nilai
lebih secara ekonomis, karena mereka tak pernah menagih biaya apa pun. Sering
kali, ketika saya mendengarkan keluh kesah, kepelikan yang diderita orang,
tenggang rasa yang timbul membuat saya ikut-ikutan depresi juga. Untuk menolong
seseorang keluar dari sangkarnya, saya kadang-kadang harus masuk ke dalam sangkar
juga agar dapat menjangkau tangan mereka- tetapi saya selalu ingat untuk
membawa tangga. Setelah suatu sesi konsultasi saya selalu merasa cerah kembali.
Konsultasi yang saya berikan tak akan meninggalkan gema apa pun, karena latihan
yang saya jalani.
Ajahn Chah, Guru saya
di Thailand, mengatakan bahwa para biksu harus menjadi tong sampah. Para Biksu,
khususnya biksu-biksu senior, harus duduk di wiharanya, mendengarkan
keluh-kesah orang-orang yang datang dan menampung semua sampah mereka. Mulai
dari masalah pernikahan, kesulitan mengasuh anak remaja, kericuhan dengan
relasi, masalah-masalah keuangan- seperti banyak yang kami dengar. Saya tidak tahu
kenapa begini. Tahu apa seorang biksu yang hidup selibat tentang masalah
perkimpoian? Kami meninggalkan keduniawian untuk menyingkir dari sampah-sampah
semacam itu, tetapi karena belas kasih, kami duduk mendengarkan, membagi
kedamaian kami, dan menerima segala macam sampah.
Ada tambahan, yang
merupakan bagian terpenting dari nasihat yang diberikan oleh Ajahn Chah. Beliau
berkata kami harus menjadi tong sampah yang dasarnya bolong! Kami harus
menerima semua sampah, tetapi tidak boleh menyimpannya.
Oleh karena itu,
seorang teman atau penasihat yang ampuh, adalah seperti tong sampah yang tak punya
dasar, dan karenanya tak akan pernah menjadi terlalu penuh untuk mendengarkan
masalah-masalah lainnya.