Petang harinya,
seperti penyakit pada umumnya, sakit gigi saya menjadi makin parah saja. Saya
merasa diri saya adalah seorang bhikkhu yang lumayan kuat, tetapi sakit gigi
itu sedang menguji kekuatan saya. Satu sisi dari mulut saya terasa penuh dengan
rasa sakit. Itu adalah sakit gigi terhebat yang pernah saya alami, atau
barangkali yang pernah ada. Saya mencoba lari dari rasa sakit dengan melakukan
meditasi pernapasan.
Saya pernah belajar
memusatkan pikiran pada napas sewaktu digigit nyamuk; kadang-kadang dengan
berhitung sampai empat puluh pada saat yang sama, dan saya bisa mengatasinya.
Namun rasa sakit ini benarbenar keterlaluan. Saya mengisi pikiran saya dengan
sentuhan napas selama dua atau tiga detik, lalu rasa sakit itu kembali
mendobrak pintu pikiran yang telah saya tutup dan meledak dengan kekuatan yang dahsyat.
Saya berdiri, keluar
dan mencoba meditasi jalan. Tak lama kemudian saya menyerah lagi. Bukannya
meditasi "dengan berjalan", tetapi saya meditasi "dengan
berlari". Saya tidak dapat berjalan perlahan. Rasa sakit menguasai saya;
membuat saya berlarian. Tapi mau kabur ke mana? Serasa dalam siksaan. Saya jadi
gila.
Saya masuk kembali ke
pondok, duduk, dan mulai menguncarkan paritta yang dikatakan mempunyai kekuatan
gaib. Paritta bisa membawa keberuntungan, menjauhkan binatang buas, dan
menyembuhkan penyakit dan rasa sakit begitulah kata orang. Saya tidak percaya.
Saya adalah mantan ilmuwan. Paritta sakti adalah semacam bim-salabim, hanya
untuk orang-orang yang lugu. Tapi sekarang saya mencoba membaca paritta, siapa
tahu itu akan berhasil. Saya putus asa. Tak lama kemudian, saya berhenti
membaca. Saya meneriakkan kata-kata parittanya karena saking sakitnya! Malam
telah larut dan saya takut bhikkhu-bhikkhu yang lain terbangun. Teriakan saya
bisa jadi telah membangunkan seluruh penduduk desa yang berkilo-kilo meter
jauhnya!
Kekuatan rasa sakit
membuat saya tidak bisa menguncarkan paritta dengan normal.
Sendirian, ribuan mil
dari negara asal saya, di hutan terpencil tanpa fasilitas apa pun, dalam rasa
sakit yang tak tertahankan dan tiada henti. Saya sudah mencoba semua yang saya
ketahui, semuanya. Tak tahu harus bagaimana lagi.
Seperti itulah. Sebuah
momen keputusasaan kadang bisa membuka pintu kebijaksanaan, pintu yang tak
terlihat dalam keadaan biasa. Pintu itu terbuka dan saya masuki. Sejujurnya,
saya memang tidak punya pilihan.
Saya teringat dua
kata singkat ini: "let go" (lepaskan). Saya sudah mendengar kata-kata
ini berkali-kaii. Saya sudah menjelaskan maknanya kepada teman-teman saya. Saya
pikir saya tahu apa artinya itu, ya begitulah gelap batin itu. Saya bersedia
mencoba apa saja, jadi saya mencoba melepas, seratus persen lepas. Untuk
pertama kalinya dalam hidup saya, saya benar-benar melepas.
Apa yang terjadi
benar-benar mengejutkan. Rasa sakit yang luar biasa tadi dengan cepat lenyap,
digantikan oleh perasaaan yang sangat menyenangkan. Gelombang demi gelombang
kenikmatan menggetarkan seluruh tubuh. Pikiran saya berdiam pada satu kedamaian
yang dalam, begitu hening, begitu menyenangkan. Saya bermeditasi dengan mudah, tanpa
kesulitan. Setelah bermeditasi, pada dini hari, saya berbaring untuk beristirahat.
Saya tidur dengan nyenyak dan damai. Sewaktu terbangun, saya menyadari ada
sakit gigi, tapi rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang semalam.