Saya diberi tahu
bahwa salah satu rasa takut paling besar yang dirasakan orang adalah berbicara
di depan umum. Saya harus sering berbicara di depan umum, di vihara-vihara, di
konferensi, di upacara pernikahan dan pemakaman, di radio, dan bahkan di siaran
langsung televisi. Semua itu adalah bagian dari pekerjaan saya.
Saya ingat pada suatu
peristiwa, lima menit menjelang saya memberikan ceramah, ketika rasa takut
membanjiri saya. Saya belum mempersiapkan apa pun untuk ceramah itu. Saya tak
punya ide apa yang akan saya katakan. Sekitar tiga ratus orang sudah duduk di
aula, berharap untuk dapat ilham. Mereka telah merelakan waktu malamnya untuk
mendengarkan saya bicara.
Saya mulai berpikir,
“Bagaimana kalau saya tidak punya apa-apa untuk diomongkan?
Bagaimana kalau saya
salah omong?
Bagaimana kalau saya
tampak bego?”
Seluruh rasa takut
dimulai dengan pikiran “bagaimana kalau” dan berlanjut dengan sesuatu yang
membawa bencana. Saya telah menduga duga apa yang akan terjadi, dan dengan cara
yang negatif. Saya telah berlaku bodoh. Saya tahu saya telah berlaku bodoh;
saya tahu semua teori, tetapi itu tidak jalan. Rasa takut terus bergulir. Saya
berada dalam masalah.
Pada saat itulah saya
mengerahkan sebuah trik, yang dalam istilah para bhikkhu disebut “cara-cara
lihai”, yang dapat mengatasi rasa takut saya, dan terbukti ampuh sampai
sekarang. Saya memutuskan masa bodoh pendengar saya menikmati ceramah saya atau
tidak, asalkan saya sendiri menikmatinya. Saya memutuskan untuk
bersenang-senang saja.
Sekarang, kapan saja
saya memberikan ceramah, saya bersenang-senang saja. Saya bergembira-ria. Saya
membawakan cerita-cerita lucu, sering saya sendiri jadi korban, dan tertawa
bersama hadirin.
Pada suatu siaran
langsung radio di Singapura, saya bercerita tentang ramalan Ajahn Chah mengenai
mata uang masa depan (warga Singapura tertarik dengan halhal yang berbau
ekonomi).
Ajahn Chah meramalkan
kelak ketika dunia kehabisan kertas dan logam untuk membuat uang, orang-orang
harus mencari sesuatu yang lain untuk transaksi sehari-hari. la meramalkan
bahwa mereka akan memakai butiran-butiran yang terbuat dari tahi ayam. Orang
akan bepergian ke mana-mana dengan kantong penuh tahi ayam. Bank-bank akan
penuh dengan benda itu dan para perampok akan mencoba mencurinya. Orang orang
kaya akan merasa begitu bangga dengan banyaknya tahi ayam yang mereka miliki
dan orang-orang miskin akan bermimpi memenangkan lotere berhadiah segunduk tahi
ayam.
Ketika jumlah tahi
ayam yang beredar cukup besar, pemerintah akan mencermati betul-betul situasi
tahi ayam di negaranya, isu-isu lingkungan dan sosial akan dikesampingkan
dahulu.
Apakah perbedaan
hakiki antara kertas, logam, dan tahi ayam? Tidak ada!
Saya menikmati
menuturkan cerita, itu. Cerita itu mengandung pernyataan memprihatinkan
mengenai budaya kita saat ini. Dan itu menggelikan.Warga Singapura senang
mendengarkannya.
Saya jadi mengerti
bahwa jika Anda memutuskan untuk bersenang senang ketika harus berbicara di
depan umum, Anda akan merasa santai. Secara psikologis, mustahil ada rasa takut
dan kegembiraan pada saat yang sama. Saat saya santai, gagasan-gagasan mengalir
dengan bebas dalam benak saya selama berceramah, lalu dengan fasihnya meluncur
melalui mulut saya. Lagi pula, hadirin jadi tidak bosan kalau ceramahnya lucu.
Seorang bhikshu Tibet
suatu ketika menjelaskan pentingnya membuat hadirin tertawa pada saat ceramah.
“Begitu mereka
membuka mulut,” katanya, “Anda dapat melemparkan pil kebijaksanaan ke
dalamnya.”
Saya tak pernah
mempersiapkan ceramah saya. Alih-alih, saya mempersiapkan hati dan pikiran
saya. Para bhikkhu di Thailand terlatih untuk tidak mempersiapkan ceramahnya,
tetapi untuk selalu siap berceramah kapan saja, tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu.
Saat itu adalah Magha
Puja, hari raya Buddhis terpenting kedua di Thailand timur laut. Saya sedang
berada di vihara Ajahn Chah, Wat Nong Pah Pong, dengan sekitar dua ratus
bhikkhu dan ribuan umat awam. Ajan Chah memang sangat terkenal; saat itu adalah
tahun kelima saya sebagai bhikkhu.
Setelah kebaktian
malam, tiba saatnya untuk ceramah utama. Dalam acara-acara besar, biasanya
Ajahn Chah yang berceramah, tetapi tidak selalu.Terkadang ia akan menoleh ke
barisan para bhikkhu dan, jika matanya berhenti pada Anda, berarti Anda dalam
masalah. la akan meminta Anda memberikan ceramah. Sekalipun saya termasuk yang
termuda di antara para bhikkhu, itu bukan jaminan bahwa saya tak akan
dipilihnya, tak ada yang bisa menebak Ajahn Chah.
Ajahn Chah memandangi
barisan para bhikkhu. Matanya tiba pada saya, tetapi lewat lagi. Diam-diam saya
menghembuskan napas lega. Lalu sapuan matanya menelusur balik barisan para
bhikkhu. Tebak, di mana ia berhenti?
“Brahm,” Ajahn Chah
memerintahkan, “ayo berikan ceramah utama.”
Tak ada jalan keluar.
Saya harus memberikan ceramah dadakan dalam bahasa Thai selama satu jam, di
depan guru saya, rekan-rekan bhikkhu, dan ribuan umat awam. Tidak masalah
apakah itu akan menjadi ceramah yang bagus atau tidak. Masalahnya, sayalah yang
harus melakukannya.
Ajahn Chah tak pernah
mengatakan apakah ceramah Anda bagus atau tidak. Bukan itu intinya. Suatu
ketika ia meminta seorang bhikkhu Barat yang sangat mahir untuk memberikan
ceramah kepada umat awam yang berkumpul di viharanya untuk kebaktian mingguan.
Setelah satu jam, sang bhikkhu bermaksud untuk mengakhiri ceramahnya, tetapi
Ajahn Chah mencegahnya dan menyuruh dia melanjutkan selama satu jam lagi.
Itu berat. Sang
bhikkhu masih mampu berceramah, dan setelah berjuang untuk jam keduanya dalam
bahasa Thai, sang bhikkhu bermaksud menutup ceramahnya, tetapi seketika itu
pula Ajahn Chah menyuruh dia untuk terus berceramah. Itu hal yang mustahil.
Bhikkhu Barat biasanya tidak banyak tahu bahasa Thai. Anda hanya bisa
mengulang-ulang. Para pendengar akan bosan. Tetapi tak ada pilihan lain. Pada
akhir jam ketiga, sebagian besar hadirin sudah beranjak pergi, dan yang masih
bertahan pun sibuk mengobrol dengan sesamanya. Bahkan para nyamuk dan cecak
pun sudah pergi
tidur. Pada akhir jam ketiga, Ajahn Chah menyuruhnya untuk berceramah sejam
lagi! Sang bhikkhu Barat tetap patuh. Dia bercerita setelah pengalaman itu
(ceramah itu berakhir juga setelah jam keempat), ketika Anda telah menyelami
dalam-dalam respon hadirin, Anda tidak akan takut lagi berbicara di depan umum.
Begitulah kami dilatih oleh Ajahn Chah yang agung.